H.
Yusuf Badri, M.Ag
Kiai
Muhammad Syarief Sukandi dikenal sebagai muballigh tentara, karena beliau
bertugas di ketentraan. Kadang-kadang, ketika berceramah pun memakai baju
dinas. “Bukan sombong, tetapi habis dinas, tidak pulang dulu kerumah, terus
ngaji,” katanya suatu ketika. Ustadz Andi, begitu beliau dipanggil di
lingkungan Persis, dikenal pula sebagai pengarang. Karya tulisnya meliputi
bidang keagamaan, untuk umum atau untuk pelajaran di sekolah, seperti fiqh
Islam (bahasa sunda), juga terjemah hadits Arba’in, hadits kuluhan Budi (bahasa
Sunda), obor, Tauhid, Laki Rabi (bahasa Sunda). Khusus bagi TNI yang akan
bertugas ke Timur Tengah, sebagai bekal, beliau menyusun pelajaran Tulis/Baca
huruf Arab sistem enam jam. Sementara di Markas TNI dikjenal dengan panggilan
Pak Syarief. Mungkin merupakan keistimewaan baginya bahwa dari mulai bawahan
sampai atasan selalu memanggil Pak Syarief. Kata-kata “Pak” di depan Syarief
tidak dihilangkan walaupun oleh atasannya.
Karya
tulis lainnya dimuat di majalah, misalnya tentang seni, naskah Sempalan
Padalangan yang dihimpun oleh Padalangan “Pamager Sari” pimpinan R.U.
Partasuanda (alm). Tidak ketinggalan mencintai lagu, Dakwah Kawih, Sifat Dua
Puluh, Syukur Nikmat yang dinyayikan oleh Cicih Cangkurileung. Kasetnya beredar
terutama di daerah Jawa Barat. Kiai yang memncintai seni ini mengarang pula
novel Sunda, seperti Nu Geulis Jadi werejit, perlaya di Tegal Karbala yang
kemudian novelnya dimuat secara bersambung di hari8) harian Bandung Pos.
Selanjutnya melalui Kodam mencipta lagu Al-Qur’an irama sunda yang kemudian
ditangani Menteri Agama (ketika itu Prof.Dr. Mukti Ali), tetapi tidak ada kelanjutannya.
KH.
Muh. Syarief Sukanndi adalah putra tuunggal pasangan suami istri Yaya atmajaya
(seorang perintis kemerdekaan) dan Engkik Rodiyah, dilahirkan di Garut, 7 April
1931. Pendidikannya banyak dijalani di Bandung. Pada usia tujuh tahun (1938)
sekolah di Holland Inlandse School (HIS) setingkat SD sambil mesantren di
pesantren cikuya, cicalengka dibawah asungan Ajengan Toha. Namun di HIS tidak
sampai tamat, karena ketika itu perang berkecamuk, sedangkan mesantrennya
berlangsung sampuan sampai tahun 1945. Selama 6 tahun pendidikannya terhenti,
karena ketika itu para pemuda diwajibkan masuk laskar TNI hingga tahun 1951.
Setelah
6 tahun di laskar TNI, baru pendidikannya dilanjutkan lagi di Pesantren
Persatuan Islam (Pesantren Persis), jl. Pajagalan, Bandung tingkat Tsanawiyah
(SLP) lulus tahun 1954. Tahun1962 tamat MuallimIin, setingkat SLA di Pesantren
yang sama, dan tahun 1967 lulus Sarjana Muda dari Institut Islam Siliwangi
(INISI). Sepuluh tahun berikutnya (1977) lulus Sarjana (S1) dan Fakultas Ussuluddin
jurusan Dakwah IAIN Sunan Gunung Djati Bandung. Pendidikannya tersendat karena
dirintis sambil bertugas di tentara.
Sejak
tahun 1951 beliau aktif mengajar agama. Sampai 1966 menjadi guru di Tamhidul
Mubhalligin (kader mubaligh Persis),dan anggota Veteran RI. Dari 1966-1986
menjadi TNI/AD yang kedua kalinya dengan pangkat Letnan satu. Sampai akhir
hayatnya menjadi guru tetap di Pesantren Persis Pajagalan, Bandung.
Kesibukannya di tentara (Bintal Dam III Siliwangi) tidak membuat Ustadz Andi
berhenti aktif di lembaga lain. Tahun 1966-1967 menjadi ketua Majelis Ulama
Indonesia (MUI) kecamatan Andir, 1967-11978 anggota MUI kota Bandung, dan tahun
berikutnya menjadi ketua MUI kec. Bandung kulon. Hasil Musda MUI Kodya Bandung
periode 1968/1990.
Dalam
mengerjakan ibadah haji tahun 1984 saat sistem muassasah (tanpa melalui syekh)
diakuinya, ibarat tentara yang diterjunkan ke medan perang yang tidak diketahui
sebelumnya, kalau tidak dihadapi dengan penuh keberanian,kesungguhan hati dan
pelaksanaan ibadah semata-mata mengharap rido Alloh, tidak sedikit yang
mengerjakan ibadah haji tidak mengikuti ketentuan yang telah dicontohkan oleh
Rasullulah.dengan demikian pelaksanaan ibadah hajinya jauh dari apa yang
disebut haji mabrur, bahkan bisa jadi ibadah hajinya batal. Syetan dalam
mengerjakan ibadah haji sering tampak “bungkeuleukan” muncul di depan mata.
Keluarga
beliau adalah keluarga mubaligh, mulai dari beliau sendiri, istrinya (ibu
Ustadzah Rokayah Syarif) dan di antara putra-putrinya yang berjumlah 11 orang
menjadi mubaligh ditambah 5 orang menantunya yang rata-rata termasuk aktifis
Majlis Ulama. “Apapun pekerjaannya, jadi mubaligh jangan di tinggalkan”. Itulah
prinsip beliau. KH. Muh Syarif Sukandi termasuk keluarga besar. Ketika beliau
wafat, 31 juli 1997, beliau meninggalkan seorang istri, sebelas anak, dan 28
cucu. Kini cucunya telah berkembang menjadi 34 orang ditambahcicit 4 orang.
Diakuinya,
meski banyak kegiatan di luar, tidak melupakan keluarga. Seminggu sekali secara
rutin diadakan pengajian keluarga di rumahnya di jalan Holis 28/81, kel.
Cibuntu. Rumahnyabahkan dibafi dua dengan Madrasah “Al-Quran”. Hal itu
dimaksudkan sebagai pembinaan terhadap keluarga menjadi sebulan sekali,
tempatnya bergiliran diantara 11 putra-putrinya. Dalam pengajian keluarga,
disamping membahas pelajaran agama dan masalah kemasyarakatan juga diskusi dan
pemecahan masalah rumah tangga/keluarga. Di ruang tamu rumahnya tertampang
tulisan yang cukup besaar dari triplek berwarna kuning Imah Kuring (rumahku
surgaku). Tulisan itu terjemahan dari hadits Nabi saw. :Baiti Jannati. Sengaja
tulisan itu di pampangkan di dalam rumah, sebagai peringatan (dzikroh) bagi
keluarga, agar di rumah tidak ada yang murung, marah atau caci maki. “tidak
pantas di surga ada yang murung,” katanya.
Beliau
berpegang pada fiman Allah : “famal hayatuddun-ya illa la’ibun walahwun”
(kehidupan dunia ini tiada lain hanyalah permainan dan sendau gurau belaka)
“pasang surut permainan laut, panas dingin permainan hari, susah senang
permainan hidup. Mengapa harus murung dalam bermain. Ikutilah peraturan
permainan itu supaya senang”. Demikianlah kata kyai yang senang humor ini.
“Apakah keluarga Bapak tidak boleh menangis? Beliau menjawab : “Di hadapan
manusia usahakan terseenyum dan tertawa, tetapi di kala menghadap Allah
(shalat, dzikir, atau berdo’a) menangislah sepuas-puasnya. Tangisilah dosa-dosa
yang telah di perbuat, mohon ampunlah kepadaNya dan bertobatlah dengan derai
aiar mata. Seperti halnyaa Nabi Adam dan Hawa bila bertobat mereka sambil
menangis, demikian pula Nabi Muhammad saw. Sering menangis di kala beliau
sedang shalat.
Bulan
April 1986 beliau pensiun dari dinas tentara, mengomentari hal itu beliau
menegaskan : “bebas tugas itu dari tentara, tetapi dari mubaligh atau juru
dakwak tidak ada istilah bebas tugas, dan bila Allah mengingiinkan saya ingin
menyusun buku lagi sebelum meninggal”. Kini Haji Muh. Syarif Sukandi telah
tiada. Beliau wafat pada 31 juli 1997 di rumahnya, sekira pukul 12 malam,
dihadapan istri dan salah seorang putrinya, Ny Lie Armanusah.
(Akhbar
Jam’iyyah, No.13 TH. V Juli-Agustus, 2005).