Selasa, 17 September 2019

Persatuan Islam Dalam Peta Sastra Indonesia


 Aldy Istanzia Wiguna


PERSATUAN ISLAM DAN BAHASA INDONESIA

Dalam perjalanan usianya yang nyaris mencapai satu abad ini. Persatuan Islam telah memberikan banyak kontribusi dalam perjalanan sejarah republik. Salah satu yang terkenang dan sering terluputkan adalah kontribusi Persatuan Islam dalam bidang bahasa khususnya dalam penggunaan bahasa Indonesia (bahasa Melayu) pada medio awal kehadirannya.

Hal ini terungkap dari bahasa yang dipilih para founding father Persis pada tahun 1923 ketika pertama kali mendirikan Persis. Dimana para founding father ini justru memberi nama organisasi yang didirikannya dengan menggunakan bahasa Melayu bukan dengan bahasa Arab seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Sarekat Islam, Jam’iyyatul Khair, Al-Irsyad, Mathlaul Anwar dll.

SASTRA DALAM RAHIM PERSATUAN ISLAM

Bila menilik pada perjalanan intelektualnya. Dakwah Persatuan Islam tidak hanya didominasi oleh perdebatan-perdebatan saja. Melainkan menyentuh pula dakwah budaya. Hal ini terlihat dari hadirnya beberapa sajak yang dipublikasikan di majalah Pembela Islam yang merupakan majalah tertua di Persatuan Islam. Sajak pertama yang dipublikasikan di majalah tersebut berjudul ‘Sadarlah’ yang ditulis seorang penulis bernama Nasbiroe. Sebuah sajak yang menyeru kepada sekalian kaum muslimin di Nusantara untuk bersikap terhadap persoalan agama yang saat itu dilecehkan oleh kaum sekuler melalui media massanya yakni Djawa Hisworo.

Selain itu, masih di majalah Pembela Islam pula ditemukan sajak yang ditulis oleh Buya Hamka dalam rangka mengenang perjuangan seorang Umar Mukhtar, pejuang muslim dari Afrika.

Selain sajak, pada tahun 1930-an pula terbit roman perdana bapak Mohammad Natsir yang berjudul ‘Salah Jalan’.

Lalu sekitar tahun 1950-an guru utama Persatuan Islam yakni Ahmad Hassan menerbitkan kumpulan sajaknya sebanyak dua jilid yang diberi judul ‘Sjair’ dan kumpulan pepatahnya yang dipublikasikan melalui majalah Pembela Islam dengan judul ‘Kitab Pepatah’ sebanyak dua jilid. Selain menulis Sjair, Ahmad Hassan pun tercatat menulis kumpulan cerita pendek yang diberi judul Tertawa sebanyak empat jilid dan kumpulan nasihat sebanyak 4 jilid pula yang diberi judul Hai Puteraku, Hai Puteriku, Hai Cucuku, dan Hai Anakku.

Selain itu, konsepsi dakwah melalui kebudayaan di Persatuan Islam rupanya telah dirumuskan oleh KH M Isa Anshary yang mana rumusan tersebut disempurnakan oleh Pak Natsir dalam bukunya yang berjudul ‘Capita Selecta’.

Melihat sekilas perjalanan sejarah tersebut menarik bila disimpulkan bahwa dakwah melalui kebudayaan khususnya sastra telah mengakar kuat dalam perjalanan sejarah Persatuan Islam.

GENEALOGI ULAMA BUDAYAWAN PERSIS

Bila ditelusuri lebih jauh, untuk genealogi ulama budayawan di Persatuan Islam bermuara pada dua titik yakni genealogi Bandung yang diwakili oleh Ust Abdurrahman dan genealogi Bangil yang diwakili oleh Ust Abdul Qadir Hassan. Kedua genealogi ini tersambung secara langsung kepada Ahmad Hassan sebagai guru utama. Dari kedua sosok ini, lahirlah banyak ulama dan intelektual Persatuan Islam yang menyusun karya budaya baik karya sastra maupun karya lainnya. Adapun dari genealogi Bandung atau murid-murid Ustadz Abdurrahman yang tercatat menulis karya sastra adalah E Abdullah, E Saifuddin Anshary (putera Pak Isa Anshary), Maman Nurzaman Romly, Utsman Sholehuddin, Suraedi, Syarief Sukandy, Wawan Shafwan Sholehuddin, Enung Nurhayati dan Rudi Rusyana. Adapun dari genealogi Bangil atau murid-murid Ust Abdul Qadir Hassan yang menulis karya sastra antara lain Abidah El Khalieqy dan Ahmad David Khalilurrahman.

Genealogi Ulama Budayawan Persatuan Islam