Sabtu, 22 Mei 2021

Meneroka Jalan Literasi Persis

 

Muhamad Ridwan Nurrohman

(tulisan ini telah dimuat di buku Persis di Era Millenium Kedua)

 

“Meninggalkan buku,

adalah meninggalkan akar peradaban”

 

A.    PENDAHULUAN

Waktu satu abad, bukanlah waktu yang sebentar. Secara hakiki, maupun secara majazi. Siapapun yang mampu bertahan selama itu, maka hampir dapat dipastikan ia memiliki kelebihan. Jika manusia, ia tentu memiliki “kelebihan” jatah usia yang cukup banyak. Di sisi lain, orang-orang biasa memahami, bahwa manusia itu punya kesehatan dan pola hidup yang baik, sehingga “panjang umurnya”. Begitu pula sebuah organisasi, jika ia mampu bertahan hingga waktu satu abad, tentu ia memiliki kelebihan dibandingkan selainnya, yang bahkan tidak mampu bertahan selama itu. Berbicara rekam jejak atau dalam istilah orang Sunda; tatapakan, tentu ia juga akan memiliki banyak kisah untuk diceritakan. Meski mungkin tak banyak orang yang mencatat dan mendengar kisah-kisah itu. Begitu pula Ormas Islam yang dinamakan Persatuan Islam (Persis). Sejak kehadirannya pada tahun 12 September 1923, kini terhitung 3 tahun lagi saja hingga ia berumur tepat satu abad, mendekati “kakak seperjuangannya” yaitu Muhammadiyah.

Bicara soalan waktu yang telah dilaluinya, tentu bekas-bekas tatapakan itu pasti ada, bukan urusan kecil, besar, banyak ataupun sedikit. Tapi sekali lagi, adakah yang mencatat, menghimpun, memperdengarkan, juga seberapa jauh jangkauan dari semua kisah itu dapat didengar oleh masyarakat umum sebagai syi’ar, ataupun oleh para generasi penerusnya sebagai kaderisasi. Karena sebagaimana ucapan M. Natsir, dengan menuliskan rekam jejak itu, “kita tidak bermaksud menonjolkan jasa, tapi tidak rela sejarah dihilangkan”.[1] Dalam hal ini, seirama betul dengan akronim yang dewasa ini dikenal sebagai jargon Presiden RI Pertama, Soekarno, yaitu Jasmerah; Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. Namun bagaimana mungkin kita peduli pada sejarah dan bekas-bekas tatapakan perjuangan Islam, khususnya Persatuan Islam, jika menemukan catatannya saja begitu seulit. Hingga untuk menemukan ungkapan Natsir di atas saja, penulis cukup kesulitan dari sekedar mencari sumber sekunder apalagi sumber aslinya. Maka peduli terhadap sejarah, berarti juga kita mesti membuka akses informasi menuju sumber-sumber itu, baik melalui akses fisik maupun digital. Bagaimana mungkin kita akan memiliki kebanggaan terhadap rumah perjuangan ini, jika mengenalnya saja kita tak yakin. Bagaimana mungkin kita rela memperjuangkan, jika rasa memiliki saja kita tak punya. Lalu bagaimana mungkin kita meyakini dengan benar jalan yang tengah kita tempuh, jika ilmu dan informasi tentangnya saja kita tak tahu. Mana mungkin dapat melanjutkan, jika kita tak tahu apa saja yang pernah diperjuangkan? Sayangnya, semua informasi itu tidak mudah untuk dijumpai. Beruntunglah mereka yang sempat bersua para senior perjuangan yang sudi berbagi cerita tentang riwayat perjuangannya. Namun jika itu semua tak tercatat, bukankah ingatan kita kadang begitu rapuh, hingga kadang lupa hari, apalagi serentetan informasi. Bukankah ilmu itu binatang buruan, sedangkan menulis adalah tali kekangnya? Maka menghadirkan wajah literasi yang baik, adalah suatu tanggung jawab bersama, bagi siapapun yang menghendaki rumah ini senantiasa terjaga dan nyaman untuk dihuni. Atau akankah kita biarkan saja semua tatapakan sepanjang hampir satu abad ini hilang tanpa jejak? Atau kita hapus saja semua amal usaha kebaikan yang pernah dihadirkan para pendahulu kita, dengan ketidak-pedulian?

 

B.     PEMBAHASAN

1.        LITERASI DAN PERADABAN ISLAM

Dalam sejarah peradaban dunia, Islam pernah hadir sebagai sebuah peradaban raksasa yang memengaruhi hampir seluruh penjuru dunia. Berbagai gerakan dan pendekatan dilakukan demi menyebarkan kalimatullah di alam semesta ini. Perwujudan nyata, dari sebuah amanah luar biasa besar, khalifatullah fil ardh. Berbagai lini kehidupan, bidang keilmuan, dan seluruh lapisan masyarakat pernah disentuh dan ia berikan sibgoh; pernah ia warnai. Hasil yang ditunjukan, bahkan kita nikmati hari ini; segala kemudahan, kecepatan, ketepatan, ketenangan, berawal dari semua upaya orang-orang terdahulu kita. Islam, sangat menghargai semua usaha manusia, hingga Rasulullah Saw bersabda,

«مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً، فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا، وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً، فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا، وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ»

“Barangsiapa yang memulai mengerjakan perbuatan baik dalam Islam, maka dia akan memperoleh pahalanya dan pahala orang yang mencontoh perbuatan itu, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa yang memulai kebiasaan buruk, maka dia akan mendapatkan dosanya, dan dosa orang yang mengikutinya dengan tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.” (HR. Muslim, no. 1017)

Dalam litelatur sejarah, kita bahkan mengenal istilah assabiqun al-awwalun, sebuah ungkapan yang Allah Swt. sebutkan dalam firman-Nya:

«وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ»

“Dan orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang agung.” (QS. At-Taubah:100)

Dua landasan tersebut, cukup menjadi pijakan awal, betapa pentingnya kita menghargai jejak para pendahulu kita, apalagi mereka adalah orang-orang shalih yang pernah berjuang keras untuk ummat. Selain itu, ini juga menjadi sebuah pesan, betapa pentingnya kita meninggalkan “sesuatu” warisan untuk para penerus kita di esok hari. Sebuah warisan terbesar yang bisa ditinggalkan oleh manusia, sebagaimana warisan para Nabi; ilmu. Seperti dijelaskan dalam potongan hadis berikut ini:

«إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ، إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا، إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ، فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ»

“Sesungguhnya Ulama adalah pewaris para Nabi, dan sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanya mewariskan ilmu, maka siapa yang mengambilnya berarti ia telah mengambil bagian yang banyak.” (HR. At-Tirmidzi, no. 2606)

Lalu apalagi media ilmu yang paling mudah diberikan selain “literasi”; pendidikan dan buku. Itulah salah satu rahasia mengapa para Ulama dahulu begitu getol menuliskan ribuan karya, dalam berbagai fan ilmu juga dengan beragam model dan pendekatan. Mari kita lihat cuplikan bagaimana literasi menjadi nadi peradaban yang pernah hadir menjadi rahmatan lil ‘alamin.

Melalui wahyu pertama, Allah Swt. memberikan satu tugas yang dirasa amat berat oleh Nabi Muhammad Saw. saat itu. Bagaimana tidak, ia lahir di tengah masyarakat yang bukan masyarakat literat. Mereka para penghafal yang baik, namun dalam dunia tulis-menulis, tradisi mereka tidak begitu kuat.[2] Itulah mengapa dalam beberapa potongan Sirah Nabawiyah, Rasulullah Saw memberikan satu opsi pemerdekaan diri bagi seorang tawanan perang adalah dengan cara mereka mengajarkan baca-tulis kepada ummat Islam.[3] Dalam bahasa Ahmad Amin, masyarakat Arab Jahiliyah adalah orang-orang yang lisan (bahasa) mereka lebih cerdas daripada akalnya (rasionalitas).[4] Maka tidak mengherankan, banyak peneliti yang akhirnya menyebut masyarakat Arab sebagai masyarakat dengan oral tradition, tapi buta huruf, atau dalam istilah yang lebih populer dalam literatur sejarah, masyarakat ummi. Sebagaimana dinyatakan dengan jelas oleh Allah Swt melalui firman-Nya:

هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ

“Dialah, Allah, yang mengutus seorang Rasul kepada kaum yang buta huruf dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan jiwa mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah, meskipun sebelumnya, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Al-Jumu’ah: 2)

Sebuah perintah yang sangat bersifat literatif ini adalah sebuah dasar pemikiran yang betul-betul perlu dipikirkan ulang oleh setiap yang mengaku dirinya sebagai muslim. Jika dalam masyarakat ummi seperti itu saja Allah mewajibkan perintah membaca; dalam makna yang tentu saja sangat luas. Maka bagaimana kewajiban itu jika dijatuhkan kepada kita yang hidup di dunia kontemporer macam sekarang, yang telah banyak menerima limpahan warisan literasi yang tak tertandingi dalam sejarah agama manapun. Bukankah kewajiban itu menjadi semakin berlipat?

Sikap dan pendekatan Rasulullah Saw, yang dikatakan seorang yang ummi terhadap melek aksara itu sendiri juga mesti membuat kita sadar akan betapa pentingnya hal tersebut. Orang-orang inilah yang pada masa berikutnya menjadi penjaga gawang keaslian al-Quran dan Sunnah-sunnahnya. Coba kita tengok bagaimana sikap Abu Bakar as-Shiddiq, selepas wafatnya para sahabat penghafal al-Quran dalam perang Yamamah. Beliau memberanikan diri untuk menghimpun dan menuliskan mushaf al-Quran, walaupun ada keraguan dalam dirinya, ia takut menyelesihi Rasulullah Saw, melakukan perbuatan bid’ah dalam agama.[5] Ini mesti menjadi satu sinyal yang besar maknanya bagi kita hari ini, yang abai menuliskan ilmu, dan membiarkan ia terbawa mati dengan wafatnya para Ulama.[6] Saking pentingnya hal itu, Imam al-Bukhari sampai mencatat bab khusus dalam kitab shahih-nya, bab Kitabat al-‘Ilm.

Meskipun hal ini memang menyisakan perdebatan di kalangan para Ulama berikutnya. Khususnya dalam masalah penulisan hadis, bukan tanpa alasan tentu saja. Hadirnya riwayat larangan Rasulullah Saw untuk menuliskan hadis sempat tersiar di kalangan para sahabat awal, bahkan memengaruhi sikap sebagian ulama tabi’in seperti Ibnu Sirin (w. 110 H),  Ayyub as-Sakhtiyani (w. 132 H), dan Ibn ‘Aun (w. 151 H); yang berprinsip untuk tidak menulis hadis.[7] Beruntungnya, mereka adalah Ulama yang memiliki kekuatan hafalan yang luar biasa, dan memiliki jaringan murid yang juga sangat besar. Sehingga ilmu mereka tidak hilang begitu saja. Namun mesti dipahami juga, bahwa pemahaman ini tidak menjadi satu-satunya madzhab resmi kaum muslimin saat itu. Tengok misalnya Khatib al-Baghdadi yang menuliskan kitab khusus tentang ini, Taqyid al-‘Ilm, selain sikap Imam al-Bukhari yang sudah penulis sebutkan sebelumnya. Seiring berjalannya waktu, dan semakin tersebar luasnya ajaran Islam, urgensi penulisan dan pemilahan validitas sumber ajaran Islam ini semakin jelas di pandangan para Ulama[8], hingga dimunculkanlah berbagai fan ilmu dalam Islam, dari mulai tafsir, kritik hadis, dan berbagai ilmu penopang lainnya; sebagai upaya menjaga keaslian agama Islam.

Penulisan sumber ajaran ini, hanya satu pondasi awal dari kegiatan literasi peradaban Islam. Selebihnya dari itu, kegiatan literasi ini juga merambah dunia penerjemahan berbagai buku dari peradaban bangsa dan bahasa lain, seperti Yunani, Suryani, Mesir, Persia, India, Romawi, dan lainnya. Ini juga merupakan satu dari sekian banyak nadi seluruh peradaban dunia, sejak dulu hingga kini.[9] Setelah itu, upaya penyusunan karya ilmiah berupa inovasi, penelitian, dan uji coba juga dilakukan dengan sangat serius. Penyusunan buku-buku katalog karya ilmiah, lalu pengklasifikasian berbagai karya ilmiah pun menjadi pintu pembuka bagi berbagai penelitian orang-orang yang datang dari masa berikutnya. Belum lagi karya-karya kritik yang dihadirkan, perdebatan yang dibukukan, berbagai perbedaan pandangan yang ilmiah, hingga munculnya berbagai madzhab pemikiran, semua itu adalah hal-hal yang memperkaya dunia literasi Islam sepanjang sejarah. Maka hal apa lagi yang perlu kita dustakan dari pentingnya literasi bagi peradaban dunia ini?

 

2.        LITERASI DAN GENERASI PERSIS AWAL

Sekarang, mari kita beranjak untuk menengok gerakan Persis awal. Sejak awal kehadirannya, Persis adalah sebuah gerakan intelektual. Sebagaimana diungkapkan oleh Howard M. Federspiel, Persis lahir dari sebuah diskusi ilmiah, yang sering mengupas dan mendiskusikan sebuah produk literasi yang paling berpengaruh pada masanya, majalah al-Manar, sebuah majalah yang diterbitkan oleh Muslim modernis di Kairo.[10] Mungkin, terinspirasi dari itu pula lah, akhirnya Persis besar melalui percaturan isu, gagasan dan pemikiran; yang pada masa berikutnya, disebar-luaskan melalui berbagai media cetaknya. Sebut saja majalah Pembela Islam, Al-Fatwa, Al-Lisan; yang pada saat itu memiliki oplah hingga ribuan eksemplar.[11] Belum lagi berbagai koran, risalah-risalah kecil, maupun buku-buku besar, baik penerjemahan maupun hasil buah karya sendiri. Semua hal ini menegaskan begitu besarnya peran dan tatapakan Persis dalam dunia literasi pada masa itu.

Sebut saja salah satu tokohnya, Ahmad Hassan, dengan segala kelebihan dan kekurangan, serta perdebatan yang dimunculkannya, telah mampu hadir sebagai seorang yang terhitung generasi awal dalam penerjemahan al-Quran ke dalam bahasa Indonesia secara lengkap. Atau dalam istilah Howard M. Federspiel, A. Hassan hadir sebagai generasi kedua dalam upaya memahami al-Quran dalam bahasa Indonesia, setelah generasi sebelumnya baru mampu melakukan penafsiran atas sebagian kecil saja bagian dari keseluruhan al-Quran.[12] Belum lagi penerjemahan beliau kepada kitab Bulughul Maram, karya Imam Ibn Hajar, hingga di sebagian masyarakat ada yang menganggap Bulughul Maram sebagai kitab Persis, bahkan ada juga yang salah mengira sebagai tulisan A. Hassan sendiri. Bahkan, tidak jarang, ia menerjemahkan berbagai pepatah dan juga syair, baik yang berasal dari bahasa Arab ataupun berbahasa Inggris, seperti pepatah politik yang ia terjemahkan dari karangan Gurney Champion, yang ia kompilasikan dalam buku A.B.C Politiknya.[13] Ia juga menerjemahkan untaian syair al-Hikam karya Ibn Athaillah sebagai sisipan majalah. Ia dengan tegap membantah pemikiran-pemikiran Atheis dalam Adakah Tuhan?-nya.[14] Beliau juga terdepan menjawab pemikiran Ahmadiyah Qadiyan dalam Officieel Verslag Debat-nya.[15] Persis dengan Pembela Islamnya pun terdepan dalam wakil Kongres al-Islam ke 2 di Solo, Mei 1939, untuk menghadapi bahaya kristenisasi melalui buku Bibel Lawan Bibel-nya.[16]

Belum lagi apa yang dihimpun oleh D.P. Sati Alimin, dari tulisan-tulisan M. Natsir, dalam Capita Selecta yang hingga saat ini telah hadir 3 jilid besar, yang memuat buah pikiran Natsir sejak 1936-1960.[17] Gagasan-gagasan yang dihadirkan beliau tidak melulu soal masalah ibadah, meskipun beliau menulis pula buku Fiqih semacam Marilah Shalat, atau yang paling fenomenal tentu saja Fiqhud Da’wah, yang dijadikan pegangan wajib para da’i DDII, yang memuat begitu banyak mutiara khas, demi menjawab persoalan Islam dan Indonesia, yang tentu saja sulit ditemukan dalam kitab-kitab turats, yang ditulis oleh para Ulama yang bukan asli Indonesia.[18] Ia juga menerjemahkan, bahkan menjabarkan pemikiran Sir M. Iqbal, seorang tokoh pemikir besar asal Pakistan, dalam bukunya Dapatkah dipisahkan Politik dari Agama? Dalam buku tersebut, beliau dengan sangat lugas membabar puisi M. Iqbal, Shikwa dan Jawabi-Shikwa; “Pengaduan dan Jawabannya”.[19] Beliau juga tidak gagap menjawab persoalan Filsafat, Budaya bahkan Sastra sekalipun. Persis dengan kesiapan literasinya, mampu menjadi solusi dari sekian banyak masalah yang dihadapi ummat Islam pada masanya. Tak sekedar persoalan ibadah, sekali lagi. Ia juga mampu menjawab tantangan Pemikiran Islam, Aqidah, Muamalah, Filsafat, Sastra, Budaya, Akhlak, bahkan politik praktis sekalipun. Ia tidak menjadi objek, apalagi objek penderita. Tapi mampu menjadi subjek aktif yang mewarnai percaturan pemikiran Islam di Indonesia khususnya. Khairuddin az-Zirikli (w. 1396 H) seorang Ulama asal Damaskus, dalam kitab al-A’lam-nya memuat biografi singkat A. Hassan dengan nama menamakannya حَسَن بانْدُونْج . Az-Zirikli menyatakan, penerbitan majalah Pembela Islam, ternyata di cetak dalam tiga bahasa, Indonesia, Arab dan juga Inggris. Dan di dalamnya, memuat pemikiran yang kokoh dari A. Hassan, baik dalam bidang Fikih, Hadis, Tauhid bahkan Politik, dan dilirik bahkan oleh dunia Internasional pada saat itu.[20] Sekian contoh sederhana ini akhirnya mesti membawa kita untuk bercermin pada kondisi literasi kita saat ini. Lebih baik kah? Melemah? Atau justru telah bisa kita katakan hilang sama sekali?

 

3.        LITERASI DAN KONDISI PERSIS HARI INI

Untuk bertanya kabar tentang hal tersebut, penulis menyebarkan kuesioner online, selain dari beberapa pengalaman yang penulis sendiri temukan, rasakan dan dengar dari berbagai responden yang berasal dari beberapa Pimpinan Wilayah, khususnya di luar Jawa, terkait kondisi literasi Persis ini. Bahkan jika ditelisik lebih jauh ke berbagai perpustakaan yang ada di Pesantren dan Pimpinan Daerah hingga Jama’ah, data-data yang ditemukan sayangnya cukup memilukan. Hingga di tingkat kampus sekalipun, standarisasi yang dimiliki nampaknya belum maksimal. Padahal, ketersediaan pustaka, adalah satu modal berharga baik dalam aspek ilmiah, dakwah, kaderisasi dan bahkan doktrinasi; lebih jauh lagi, tentu saja peradaban.[21]

 


 

Misalnya, bisa kita lihat dari rincian katalog Perpustakaan PP. Persis di bawah ini:

 

DATA PERPUSTAKAAN

PIMPINAN PUSAT PERSATUAN ISLAM

 

Profil Perpustakaan

Perpustakaan Pimpinan Pusat Persatuan Islam didirikan pada tahun 2001 di masa kepemimpinan Drs. KH. Shiddiq Amien, MBA dengan maksud untuk mendokumentasikan serta memudahkan banyak kalangan untuk mengakses berbagai kepustakaan terkait Persis baik buku-buku, dokumentasi, maupun arsip-arsip lainnya untuk kepentingan pengkajian dan penelitian terkait Persis itu sendiri. Saat ini perpustakaan tersebut memiliki koleksi sebanyak kurang lebih 400 koleksi yang terdiri dari buku, foto dokumentasi, kaset, serta buku-buku. Saat ini perpustakaan tersebut dikelola oleh dua staf PP Persis yakni H. Oim Abdurrohim dan Ust. Farid Helmi. Perpustakaan tersebut beralamatkan di Jln. Perintis Kemerdekaan No 2-4, Bandung, 40117 dengan no kontak (022) 4220704 atau melalui fax dengan no kontak (022) 4220702.

 

Data Koleksi Perpustakaan

2 x 0 :

2 x 1 : 78

2 x 2 : 15

2 x 3 : 3

2 x 4 : 3

2 x 5 : 27

2 x 6 : 300

2 x 7 :

2 x 8 :

2 x 9 :

Sarana dan Prasarana Perpustakaan

1.      Ruang baca

2.      Lemari buku

3.      Komputer

SDM Perpustakaan

1.      H. Oim Abdurohim

2.      Farid Helmi

 

Ini adalah data yang dihimpun oleh Aldy Istanzia Wiguna, sebagai bekal yang ia bawa dalam acara yang diadakan Kemenag Pusat, terkait pemantauan kondisi literasi ormas islam. Untuk tidak mengecilkan peran, perbandingan angka yang hadir dari data ini, dibandingkan dengan angka yang hadir dari ormas lainnya seperti Muhammadiyah dan NU, tentu bukan hal yang menyenangkan untuk diungkapkan di sini. Berbicara secara fisik dan struktur pertanggung-jawaban pun, Persis masih menjadikan Perpustakaan di bawah naungan Sekretaris Umum, lain dengan dahulu yang memiliki Bahagian Pustaka, yang khusus membawahi pengurusan Perpustakaan. Belum lagi jika yang kita bahas adalah isi dari koleksi-koleksi tersebut.

Khazanah literasi Persis ini sebenarnya bukan tiada, hanya saja keberadaannya yang kini sulit untuk dilacak. Bagaimana tidak, Howard M. Federspiel saat menyusun Disertasinya yang kini diterbitkan menjadi buku Labirin Ideologi Muslim, ia akui mendapatkan semua data-data itu di Perpustakaan Pesantren Persatuan Islam 1-2, di Pajagalan. Namun hari ini, selepas dipindahkan ke Viaduct, begitu banyak sumber yang dirujuk Howard M. Federspiel dalam bukunya itu, tidak lagi ditemukan di Perpustakaan Persatuan Islam kini. Setelah penulis berasumsi bahwa ini adalah koleksi yang berbeda dengan yang pernah ditemui Federspiel di Pajagalan, namun faktanya, setelah penulis mengkonfirmasi ke Perpustakaan PPI Pajagalan sendiri, koleksi-koleksi itu memang sudah tidak dapat ditemui di sana. Lalu perlukah Perpustakaan Persis melengkapi kembali seluruh dokumen tersebut, 99% responden, menjawab YA! Untuk apa? Tentu saja menghadirkan data yang cukup, sebagaimana cita-cita awal pendirian dari Perpustakaan PP. Persis itu sendiri; mendokumentasikan serta memudahkan banyak kalangan untuk mengakses berbagai kepustakaan terkait Persis baik buku-buku, dokumentasi, maupun arsip-arsip lainnya untuk kepentingan pengkajian dan penelitian terkait Persis itu sendiri.

Lebih jauh lagi jika kita bicara soal ketersediaan akses bagi orang-orang yang berasal dari Pimpinan Wilayah di luar Jawa Barat. Seperti di Sulawesi Selatan misalnya, tempat penulis dahulu melaksanakan pengabdian. Bahkan akses ilmu berupa buku umum pun begitu sulit untuk didapatkan, apalagi buku terkait Persis. Meski masih ada satu hal yang wajib disyukuri, karena di sana penulis masih menemukan bahan ajar Diniyah yang ditulis oleh E. Abdullah, sebagai ciri khas pengajaran Diniyah Persis. Belum lagi wilayah lain, semacam Riau, Ambon, Kalimantan, atau bahkan Yogyakarta sekalipun, selain Bangil tentu saja. Bahkan yang masih berada di wilayah Jawa Barat pun, masih banyak kader yang kesulitan mendapatkan akses informasi terkait Persis ini. Mereka (62%) biasa mendapatkan informasi terkait Persis, melalui media Whatsapp. Majalah Risalah, sebagai salah satu, untuk tidak menyatakan satu-satunya Majalah Persis yang masih bertahan pun, sulit mendapatkan perhatian di wilayah-wilayah bahkan daerah di Jawa Barat sekalipun. Prosentase buku-buku Persis dan terkait Persis yang bisa mereka akses berada pada kisaran 89% adalah kurang dari 50 buku saja, dan 58% nya hanya bisa menemui 5-20 buku saja. Dan 11% saja yang berhasil menemui lebih dari 50 buku. Itu pun penulis tidak memisahkan buku karya pendahulu Persis dan para Asatidz Persis yang masih aktif menulis hingga hari ini seperti A. Zakaria, yang jelas bisa mewakili banyak sekali jumlah buku yang dapat ditemui tersebut.

Hal ini tentu saja bukan sebuah usaha yang mesti dibebankan kepada Pimpinan Pusat saja. Karena pada faktanya, begitu banyak buah karya dan juga beragam sumber rujukan para tokoh Persis di masa sebelumnya, yang masih tersimpan rapi di pihak keluarga. Sebut saja koleksi karya Ust. Syarief Sukandy, yang sempat langsung penulis temui beberapa waktu ke belakang. Meskipun ada juga yang koleksi-koleksi itu telah raib, dijual ke tukang loak.

 

C.    PENUTUP

Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, itulah kondisi rumah kita. Sebagai penutup, izinkan penulis menyampaikan terima kasih sedalam-dalamnya, kepada seluruh responden yang telah sudi menyampaikan ide dan gagasannya kepada penulis. Sebuah kaca sederhana, yang tentu saja mesti dilirik, untuk masa depan Persis yang lebih baik. Begitu banyak hal yang belum kita lakukan dengan serius, yang bahkan hanya dengan memulainya, dari hal yang terkecil sekalipun, akan membawa perubahan besar bagi pergerakan rumah kita bersama ini. Tidak ada pelaut hebat yang lahir dari gelombang yang tenang. Semua masalah ini, hadir untuk menuntut jawab dan aksi kita bersama. Seperti disebutkan sebelumnya, perkara literasi ini bukan masalah yang harus ditanggung Pimpinan Pusat saja. Perlu kerjasama yang baik, dari setiap elemen yang ingin menghadirkan kembali wajah Persis dalam dunia literasi, atau bahkan dalam kancah nasional sekalipun. Gerakan Persis yang dahulu membawa Federspiel jauh-jauh dari Australia ke Pajagalan, adalah jelas sebuah gerakan solutif, yang mampu menjawab banyak kebutuhan ummat. Apalagi menengok tulisan az-Zirikli dalam al-A’lam-nya di atas. Mestilah menjadi pemacu untuk kita, generasi Persis hari ini. Akankah Persis siap menjadi mujaddid lagi?

Menghadirkan Perpustakaan yang lengkap, apalagi melakukan digitalisasi dan penerbitan ulang karya-karya para pendahulu Persis, setidaknya akan menjadi benang merah yang tegas dan jelas bagi siapapun yang ingin menjadi penerus perjuangan rumah kita ini. Kolaborasi, kerjasama dengan para keluarga asatidz, maupun dengan berbagai lembaga seperti Pusat Dokumentasi Islam Indonesia Tamadun, Kemenag dan Perpustakaan Nasional, menurut penulis adalah langkah paling rasional untuk melengkapi puzzle tentang jejak perjuangan para pendahulu kita, untuk kita hadirkan beragam karya “inovasi” dari para anak mudanya, tanpa kehilangan jati-diri pergerakan Persatuan Islamnya tentu saja. Sebuah langkah yang perlu kita mulai, bukan dengan caci-maki ataupun menunjuk salah kepada selain kita, namun mesti kita kawal dengan semua usaha yang bisa dilakukan, untuk menghadirkan #ReformasiLiterasiPersis jelang Muktamar Persis ke-16 yang sudah di depan mata ini. Wallahu a’lam bi shawwab.

 


 

DAFTAR PUSTAKA

 

A. Hassan, Rahmat Ali, Abu Bakar Ayyub. 1986. Officieel Verslag Debat antara Pembela Islam dan Ahmadiyah Qadiyan. PB. Jemaat Ahmadiyah Indonesia.

A. Hassan. 1994. Adakah Tuhan? Bandung: Diponegoro.

A. Hassan. 1983. Bibel Lawan Bibel. Bangil: LP3B.

A. Syalabi. 2003. Sejarah dan Kebudayaan Islam 1. Jakarta: PAB.

Ali, Jawwad. 2018. Sejarah Arab Sebelum Islam. Jakarta: Alvabet.

Bachtiar (ed.), Tiar Anwar. 2013. Risalah Politik A. Hassan. Garut: Pembela Islam.

Basya, Ahmad Fuad. 2015. Sumbangan Keilmuan Islam pada Dunia. Jakarta: Pustaka al-Kautsar.

Chalil, Moenawar. 2001. Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad 2. Jakarta: GIP.

Cook, Michael. 2012. Oposisi Penulisan Hadis di Masa Islam Awal. Bandung: Marja.

Daftary (ed.), Farhad. 2002. Tradisi-tradisi Intelektual Islam. Jakarta: Erlangga.

Djaja, Tamar. Riwayat Hidup A. Hassan. Jakarta: Mutiara.

Federspiel, Howard M. 1996. Kajian Al-Quran di Indonesia. Bandung: Mizan.

__________________. 2004. Labirin Ideologi Muslim. Jakarta: Serambi.

M. Natsir, dan M. Iqbal. Dapatkah dipisahkan Politik dari Agama? Jakarta: Mutiara.

M. Natsir, dkk. Bahaya Takut. Serial Media Dakwah Edisi ke-20.

M. Natsir. 1989. Fiqhud Da’wah. Solo: Ramadhani.

M. Natsir. 2008. Capita Selecta 3. Jakarta: Penerbit Abadi dan Yayasan Capita Selecta.

Makdisi, George A. 2005. Cita Humanisme Islam. Jakarta: Serambi.

Nasar, M. Fuad. Islam dan Muslim di Negara Pancasila. Yogyakarta: Gre Publishing.

Syahin, Abdul Shabur. 2006. Saat al-Quran Butuh Pembelaan. Jakarta: Erlangga.

Zirikli, Khairuddin az-. 2002. al-A’lam. Lebanon: Dar ‘Ilm lil Malayin.



[1] “Bahaya Takut”, M. Natsir dalam Serial Media Dakwah Edisi ke-20, hlm. 1-22. Lihat juga, M. Fuad Nasar, Islam dan Muslim di Negara Pancasila. (Yogyakarta: Gre Publishing). Hlm. 43-44.

[2] A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 1. (Jakarta: PAB, 2003). Hlm. 28.

[3] Moenawar Chalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad 2. (Jakarta: GIP, 2001). Hlm. 56.

[4] Jawwad Ali, Sejarah Arab Sebelum Islam. (Jakarta: Alvabet, 2018). Hlm. 251.

[5] Abdul Shabur Syahin, Saat al-Quran Butuh Pembelaan. (Jakarta: Erlangga, 2006). Hlm. 182-184.

[6] HR. Bukhari, Kitab al-‘Ilm, Bab Kaifa Yuqbad al-‘Ilm, no. 98.

[7] Michael Cook, Oposisi Penulisan Hadis di Masa Islam Awal. (Bandung: Marja, 2012). Hlm. 27-29.

[8] “Kehidupan Intelektual pada Empat Abad Pertama Islam” oleh Hugh Kennedy, dalam Farhad Daftary (ed.), Tradisi-tradisi Intelektual Islam. (Jakarta: Erlangga, 2002). Hlm. 25-43.

[9] Ahmad Fuad Basya, Sumbangan Keilmuan Islam pada Dunia. (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2015). Hlm. 84.

[10] Howard M. Federspiel, Labirin Ideologi Muslim. (Jakarta: Serambi, 2004). Hlm. 112-113.

[11] “A. Hassan” oleh Deliar Noor, dalam Tamar Djaja, Riwayat Hidup A. Hassan. (Jakarta: Mutiara). Hlm. 116.

[12] Howard M. Federspiel, Kajian Al-Quran di Indonesia. (Bandung: Mizan, 1996). Hlm. 129.

[13] Tiar Anwar Bachtiar (ed.), Risalah Politik A. Hassan. (Garut: Pembela Islam: 2013). Hlm. 75-85.

[14] A. Hassan, Adakah Tuhan? (Bandung: Diponegoro, 1994).

[15] A. Hassan, Rahmat Ali, Abu Bakar Ayyub. Officieel Verslag Debat antara Pembela Islam dan Ahmadiyah Qadiyan. (PB. Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1986).

[16] A. Hassan, Bibel Lawan Bibel. (Bangil: LP3B, Cet-3: 1983).

[17] M. Natsir, Capita Selecta 3. (Jakarta: Penerbit Abadi dan Yayasan Capita Selecta, 2008).

[18] M. Natsir, Fiqhud Da’wah. (Solo: Ramadhani, 1989).

[19] M. Iqbal dan M. Natsir, Dapatkah dipisahkan Politik dari Agama? (Jakarta: Mutiara).

[20] Khairuddin az-Zirikli, al-A’lam. (Lebanon: Dar ‘Ilm lil Malayin, 2002). II: 184.

[21] George A. Makdisi, Cita Humanisme Islam. (Jakarta: Serambi, 2005). Hlm. 93-101.