Sabtu, 22 Mei 2021

Persatuan Islam dan Kesuastraan Islam di Indonesia

 

Aldy Istanzia Wiguna

(tulisan ini telah dimuat dalam buku Dinamika Intelektual Pemuda Persis)

Muqaddimah

Dakwah menurut bahasa diambil dari isim masdar (kata benda) dari kata da’a, yad’u, yang berarti panggilan, seruan, atau ajakan. Sedangkan menurut istilah dakwah adalah kegiatan yang bersifat menyeru, mengajak, dan memanggil orang beriman agar senantiasa tunduk dan patuh pada perintah Allah serta menjauhi larangan-Nya serta tetap dalam koridor akidah, syari’at dan akhlaq Islam.

Selain itu, dakwah memiliki tujuan untuk mewujudkan kebahagiaan serta kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat yang diridhai Allah. Dakwah dilaksaakan oleh Nabi SAW dengan berbagai macam cara, diantaranya melalui lisan, tulisan dan perbuatan. Sasaran utama dakwah yang memiliki makna ajakan pada mulanya ditujukan kepada keluarganya, sahabatnya, hingga kaum musyrikin Quraisy bahkan sampai kepada para penguasa seperti kaisar Heraklius dari Byzantium, Mukaukis dari Mesir, Kisra dari Persia, dan Raja Najasyi dari Habasyah melalui surat yang dikirimkan beliau ketika syiar Islam telah menyebar di masa tersebut. Dan di masa itu dakwah Nabi Muhammad SAW dibagi ke dalam beberapa fase dimulai dari fase sembunyi-sembunyi sampai terbuka. Dakwah Nabi SAW di kota Mekkah pun terbilang cukup lama yakni sampai 22 tahun lebih, sementara dakwah beliau di kota Madinah hanya sampai 2 ½ tahun, tapi mampu menjadi kekuatan Islam di kemudian hari. Ini membuktikan bahwa dakwah tidak hanya memerlukan tenaga tapi juga waktu yang cukup lama.

Dalam dakwah ini, segala daya dan upaya dikerahkan tersebab dakwah merupakan kewajiban yang mesti dilaksanakan dan dilakukan setiap individu kaum muslimin demi tersebarnya syiar dan tegaknya syari’at Islam di muka bumi. Menurut Mohammad Natsir dalam bukunya Fiqhud Dakwah menjelaskan bahwasannya, dakwah dalam arti amar ma’ruf nahyi munkar adalah syarat mutlak bagi kesempurnaan dan keselamatan hidup masyarakat. Ini adalah kewajiban sebagai pembawaan fitrah manusia selaku social beeing (makhluk ijtima’i); dan kewajiban yang ditegaskan oleh risalah: oleh kitabullah dan sunnah Rasulullah. Bukan monopoli golongan yang disebut ulama atau cerdik cendekiawan.

Tetapi dalam perjalanannya dengan tidak mengurangi dakwah (amar ma’ruf dan nahyi mungkar) yang harus dijalankan oleh orang seorang, maka mengadakan golongan pembawa dakwah yang khusus ini, melengkapkan segala sesuatu yang dihajatkan untuk melancarkan jalan tugas seperti pembinaan umat dan memelihara keselamatan umat, adalah suatu kewajiban yang dipikul oleh tiap-tiap muslim dan muslimah. Dengan lain perkataan, pelaksanaan pekerjaan dakwah ini bisa diserahkan kepada suatu korps para ahli, tapi beban untuk menyelenggarakannya wajib dipikul oleh seluruh anggota masyarakat Islam baik laki-laki maupun wanita dengan harta, tenaga dan fikiran.

Dakwah merupakan fardhu ‘ain atau satu kewajiban yang tidak seorang muslim atau muslimah pun yang dapat berlepas diri daripadanya. Dimana dakwah tak hanya memerlukan sumbangan tenaga dan pikiran, tetapi memerlukan pula sumbangan harta, banyak atau sedikitnya, maka itu bukanlah soal kedermawanan, bukan soal derma-derma yang harus diminta dimohon-mohonkan supaya berkenan memberinya. Ini bukan fardhu kifayah seperti kewajiban ibadah menyembahyangkan mayat, tidak usah dikerjakan oleh semua anggota jama’ah, cukup diselenggarakan kalau perlu satu orang saja, untuk semua. Sebab dakwah ini artinya menunaikan amanah Rasul, melanjutkan risalah dengan dakwah. Hanya secara demikian, kalau hendak sama-sama berhak atas kedudukan: sebaik-baik umat yang dilahirkan untuk kemaslahatan manusia, yang mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, dan beriman kepada Allah. Itu!

Dari paparan ringkas di atas, selain merupakan fardhu ain bagi seluruh kaum muslimin dan memerlukan pengorbanan seperti tenaga, harta dan pikiran. Dakwah pun dapat dilakukan dengan berbagai macam cara seperti dakwah bil hal, dakwah bil lisan dan dakwah bil kitabah. Lantas bagaimanakah dakwah Persatuan Islam dilihat dari sudut pandang pemikiran Islam di Indonesia yang beragam? Bagaimana pula metode dakwah para alim ulama Persatuan Islam dalam merespon keberagaman pemikiran Islam tersebut?

 

Persatuan Islam dan Dakwah Islam di Indonesia

Persatuan Islam merupakan organisasi massa Islam yang didirikan di Bandung pada tanggal 12 September 1923. Organisasi massa Islam ini didirikan atas inisiasi dua orang saudagar bernama Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus. Bermula dari acara kenduri dan diskusi keagamaan yang sering diadakan keduanya, kemudian berkembang menjadi ormas besar sampai hari ini. Kehadiran Persatuan Islam pada saat itu menjadi titik tolak tentang hadirnya organisasi modernis yang fokus dalam menyikapi problematika umat diantaranya dalam rangka memberantas bid’ah, khurafat dan takhayul serta taqlid yang merebak di tengah-tengah gencarnya penjajahan yang dilakukan oleh kolonialis Belanda.

Dakwah Persis pada masa awal pendirian ditempuh dengan jalan diskusi keagamaan yang bertempat di rumah H. Zamzam dalam acara kenduri. Lalu ketika A. Hassan masuk menjadi bagian dari Persis sekitar tahun 1926, arah dakwah Persis mulai diarahkan kepada perdebatan yang biasanya dilakukan secara terbuka baik secara langsung maupun melalui media cetak. Seperti perdebatan dengan Ahmadiyyah, perdebatan dengan atheis, perdebatan dengan Nahdlatul Ulama, perdebatan dengan Permi, perdebatan dengan Soekarno, bahkan perdebatan dengan kalangan non muslim seperti Kristen Advent.

Dalam perdebatan yang dilangsungkan secara terbuka biasanya dihadiri sampai 500 orang. Perdebatan yang dilakukan Persis pada masa itu biasanya selalu memancing kepenasaran orang-orang luar untuk menyaksikannya. Bahkan ketika A. Hassan melakukan perdebatan secara terbuka dengan perwakilan Ahmadiyyah dilaksanakan sampai tiga hari berturut-turut dihadiri ratusan orang bahkan sampai diliput beberapa media masa pada saat itu salah satunya majalah Fikiran Rakjat. Selain melalui perdebatan secara langsung. Ada juga perdebatan yang dilakukan melalui media masa seperti saat Komite Pembela Islam mendebat seorang pendeta yang menghina Islam dan Nabi Muhammad melalui majalah Pembela Islam juga polemik panjang antara A. Hassan dengan Soekarno lewat surat-suratnya. Serta perdebatan antara A. Hassan dan Buya Hamka yang berlangsung hampir berbulan-bulan lamanya. Bahkan A. Hassan sampai menulis satu nomor khusus di majalah Al-Lisaan dengan judul Pengajaran Bahasa Arab untuk Buya Hamka. Bahkan untuk nomor itu, majalahnya dibagikan secara gratis kepada masyarakat.

Selain melalui media penerbitan. Dakwah Persis pun dilakukan melalui media pendidikan. Hal itu bisa dibuktikan dengan pendirian Pendidikan Islam (Pendis) oleh Mohammad Natsir yang merupakan cikal bakal berdirinya Pesantren Persatuan Islam yang sampai hari ini jumlahnya kurang lebih ratusan pesantren yang tersebar di Jawa Barat, DKI Jakarta, Banten dan Bangil, Jawa Timur.

Media penerbitan dan publikasi pun tak lupa dijadikan sebagai salah satu sarana dakwah Persis seperti diterbitkannya majalah Pembela Islam, Aliran Islam, Al-Lisan, At-Taqwa, Lasykar Islam (kelanjutan dari majalah Pembela Islam yang dibredel Belanda), Al-Fatwa, serta majalah Al-Muslimun yang diterbitkan A. Hassan dari Bangil. Selain melalui media masa seperti majalah. Persis juga memanfaatkan media penerbitan buku-buku para ulama Persis yang terkenal produktif di masa itu seperti A. Hassan dengan hampir 83 bukunya dimana beberapa bukunya termasuk yang sangat dikenal bahkan masih dijadikan rujukan umat sampai hari ini seperti Soal Djawab jilid 1-4, Pengajaran Shalat, Tafsir Al-Furqan, Islam dan Kebangsaan, ABC Politik, Perempuan di Podium serta karya-karya lainnya. Bahkan A. Hassan tercatat pernah menerbitkan satu kumpulan puisi yang berjudul Syair serta 4 jilid buku humor yang dijudulinya Tertawa. Ulama Persis lainnya yang terkenal produktif pada masa itu selain A. Hassan adalah Mohammad Natsir yang aktif menulis artikel-artikel juga beberapa buku diantaranya Capita Selecta sebanyak tiga jilid. Fiqih Dakwah, dan Kebudayaan Islam. Ada pula Isa Anshary yang tercatat menulis tulisan sebanyak 63 buku diantaranya ada Mujahid Dakwah, Falsafah Perdjuangan Islam, Umat Islam Menghadapi Pemilihan Umum, Manifesto Perjuangan Persis, Bahaja Merah di Indonesia, dan lain-lain.

Sastra dan Dakwah Islam di Indonesia

Sastra merupakan kata serapan dari bahasa Sansekerta yang bermakna teks yang mengandung instruksi atau ajaran. Dalam bahasa Indonesia kata sastra sering digunakan atau diejawantahkan menjadi kesusastraan yang memiliki makna jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu. Selain itu dalam arti kesusastraan, sastra dibagi menjadi sastra tertulis atau sastra lisan (sastra oral). Di sini, sastra tidak banyak berhubungan dengan tulisan, tetapi dengan bahasa yang dijadikan wahana untuk mengekspresikan pengalaman atau pemikiran tertentu.

Kehadiran sastra di Indonesia sudah tampak sejak abad ke 19 ditandai dengan hadirnya sastra berbahasa Melayu yang ditulis oleh orang-orang yang berasal dari kepulauan Riau atau Sumatera. Juga bahasa yang dipergunakannya disebut sebagai bahasa Melayu yang murni atau bersih. Bahasa Melayu yang dipergunakan oleh para pengarang itu bukanlah bahasa Melayu Tinggi melainkan bahasa Melayu Rendah atau bahasa Melayu Pasar. Tak hanya berkembang di tanah Melayu, sastra pun berkembang sampai ke penjuru Nusantara lainnya hingga kemudian dikenal dengan adanya kesusastraan Jawa, Sunda, Bali, Aceh, Bugis dan lain-lain.

Sastra dikenal sebagai media dakwah mulai hadir sejak tampilnya kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara. Bahkan para penyebar Islam seperti walisongo pun ada yang menggunakan sastra sebagai media dakwahnya. Dalam Perang Aceh yang dikenang dengan kegemilangannya pun terdapat karya sastra yang turut membangun semangat serta ghirah para mujahidin Aceh untuk berperang melawan tirani kolonialis Belanda. Salah satu karya sastra yang menjadi bacaan wajib pembangkit ghirah perjuangan itu adalah Hikayat Prang Sabi buah pena Teungku Chik Pante Kulu. Selain itu, sastra Islam pun berkembang mengikuti arus perubahan zaman. Dari angkatan Balai Pustaka kita mengenal nama seperti Buya Hamka yang dikenal dengan romannya seperti Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Lalu beberapa nama lainnya dalam beberapa periodisasi sastra seperti JE Tatengkeng, AA Navis yang turut menghiasi panggung sastra Islam Nusantara. Di era 2000-an muncul pula nama-nama seperti Helvy Tiana Rossa, Habiburrahman El-Shirazy, Asma Nadia, dan beberapa nama lainnya menambah semarak rangkaian panggung sastra Nusantara. Bahkan kehadiran Forum Lingkar Pena yang diinisiasi kakak beradik Helvy Tiana Rossa dan Asma Nadia menambah semarak perkembangan sastra Islam di Indonesia. Penyair senior Taufiq Ismail bahkan sampai mengatakan bahwa kehadiran Forum Lingkar Pena merupakan hadiah dari Allah untuk Indonesia.

Kehadiran sastra sebagai media dakwah yang cukup efektif di Nusantara pun hadir dalam berbagai bentuk gagasan serta konsepsi. Salah satunya adalah gagasan sastra profetik yang digagas oleh Prof Dr Kuntowijoyo, salah satu sastrawan, budayawan dan sejarawan terkemuka di Indonesia. Menurut Kuntowijoyo yang dimaksud dengan sastra profetik adalah sastra yang dibentuk berdasarkan atau untuk tujuan mengungkapkan prinsip-prinsip kenabian atau wahyu. Konsepsi ini diejawantahkan Kuntowijoyo dalam sejumlah karya sastranya seperti Makrifat Daun, Daun Makrifat, Khotbah di Atas Bukit, Pasar, Dilarang Mencintai Bunga-Bunga, Persekongkolan Ahli Makrifat dan sejumlah karya lainnya yang menunjukkan betapa nilai-nilai ilahiah di dalam karya tersebut seolah mengajak manusia untuk kembali kepada titik transendental-nya yakni Allah hingga kemudian muncul sebuah adagium bahwasannya menulis sastra adalah bagian dari ibadah.

 

Akar Sastra dalam Dakwah Persatuan Islam

Dakwah Persatuan Islam tidak hanya didominasi oleh perdebatan-perdebatan saja. Melainkan menyentuh pula dakwah budaya. Hal ini terlihat dari hadirnya beberapa sajak yang dipublikasikan di majalah Pembela Islam yang merupakan majalah tertua di Persatuan Islam. Sajak pertama yang dipublikasikan di majalah tersebut berjudul ‘Sadarlah’ yang ditulis seorang penulis bernama Nasbiroe. Sebuah sajak yang menyeru kepada sekalian kaum muslimin di Nusantara untuk bersikap terhadap persoalan agama yang saat itu dilecehkan oleh kaum sekuler melalui media massanya yakni Djawa Hisworo.

Selain itu, masih di majalah Pembela Islam pula ditemukan sajak yang ditulis oleh Buya Hamka dalam rangka mengenang perjuangan seorang Umar Mukhtar, pejuang muslim dari Afrika. Selain sajak, pada tahun 1930-an pula terbit roman perdana bapak Mohammad Natsir yang berjudul ‘Salah Jalan’ dan di tahun 1950-an, Pak Natsir bersama Pak Nasroen AS menulis pula sebuah roman yang berjudul ‘Hidup Bahagia’ yang diterbitkan tahun 1954 oleh Penerbit Van Hope, Bandung.

Lalu sekitar tahun 1950-an guru utama Persatuan Islam yakni Ahmad Hassan menerbitkan kumpulan sajaknya sebanyak dua jilid yang diberi judul ‘Sjair’ dan kumpulan pepatahnya yang dipublikasikan melalui majalah Pembela Islam dengan judul ‘Kitab Pepatah’ sebanyak dua jilid. Selain menulis Sjair, Ahmad Hassan pun tercatat menulis kumpulan cerita pendek yang diberi judul Tertawa sebanyak empat jilid dan kumpulan nasihat sebanyak 4 jilid pula yang diberi judul Hai Puteraku, Hai Puteriku, Hai Cucuku, dan Hai Anakku.

Tak hanya di majalah Pembela Islam saja kita dapat melihat atau membaca karya-karya sastra yang ditulis para ulama Persatuan Islam. Di majalah seperti Risalah pun kita bisa membaca satu naskah drama berjudul ‘Biar Aku Mati, Asal Islam Tetap Hidup’. Belum lagi cerita-cerita pendek yang ditulis ustadz Utsman Sholehuddin di majalah seperti Al-Qudwah, Dhuha, dan sebagainya.

Bahkan di tahun-tahun awal eksistensi dakwahnya, Persatuan Islam telah membuat sebuah rumusan terkait konsepsi dakwah melalui kebudayaan. Hal ini dirumuskan pertama kali oleh KH M Isa Anshary yang mana rumusan tersebut kemudian disempurnakan oleh Pak Natsir dalam bukunya yang berjudul ‘Capita Selecta’ di jilid pertama. Belum lagi konsep-konsep kebudayaan dan dakwah yang ditulis oleh Pak Natsir dan dihimpun di dalam buku ‘Kebudayaan Islam’ terbitan Girimukti Pasaka.

Bila kita melihat sekilas perjalanan sejarah di atas, tentu menarik bila disimpulkan bahwa dakwah melalui kebudayaan khususnya sastra telah mengakar kuat dalam perjalanan sejarah Persatuan Islam.

 

Sastra Dalam Karya Intelektual Ulama Persatuan Islam

Dalam perjalanan panjang dakwah Persatuan Islam yang membentang hampir sembilan puluh delapan tahun dari awal berdiri sampai hari ini, para ulama Persatuan Islam tak pernah kehilangan daya serta upaya dalam rangka mengemban tugas dakwah menyebarkan Qur’an Sunnah ke seluruh penjuru Nusantara. Hal ini ditandai pula dengan tersebarnya pimpinan wilayah di beberapa provinsi di luar Jawa Barat. Tak hanya jumlah pimpinan yang bertambah. Ragam khazanah intelektual khususnya dalam bidang tulis menulis pun menambah semarak dakwah Persatuan Islam di pentas republik. Hampir setiap bidang dakwah dan pendidikan dilakoni oleh ulama Persatuan Islam mulai dari bidang hukum, politik, sosial, pendidikan, dakwah, dan sebagainya.

Hal ini ditandai dengan hadirnya beragam khazanah intelektual baik yang ditulis di media massa maupun dalam buku-buku. Seperti tulisan-tulisan A Hassan, Isa Anshary, M Natsir, E Abdurrahman sampai generasi mutakhirnya. Tak hanya dalam bidang-bidang di atas saja, kepiawaian berdakwah para ulama Persatuan Islam hadir. Dalam bidang budaya pun terkhusus sastra, mereka cukup piawai dalam berdakwah Qur’an Sunnah. Kurang lebih ada sekitar 21 karya tulis dalam bidang sastra yang disusun para alim ulama Persatuan Islam dengan catatan ada sekitar 9 buku puisi, 10 buku prosa, 1 naskah drama, dan 1 teori sastra. Jumlah ini belum termasuk sejumlah tulisan yang tersebar di majalah-majalah resmi jam’iyyah Persatuan Islam atau yang dikelola oleh kader dimulai dari majalah Pembela Islam, Risalah, Qudwah dan Dhuha.

Jika dirinci berdasarkan para penulisnya, maka nama A Hassan bisa ditulis sebagai penulis karya sastra terbanyak sebanyak enam judul yang terdiri dari Hai Puteraku[1] sebanyak empat jilid, lalu Syair dan terakhir Pepatah. Di urutan kedua ada M Syarief Sukandi yang menulis sebanyak 5 karya diantaranya, Pangaweruh Atikan, Pangusap Rasa, Tembang jeung Kawih, Fantomim Sunda, dan Hariring Wangsiting Gusti Nu Maha Suci. Berikutnya ada E Abdullah yang menulis kurang lebih sekitar tiga buku sastra seperti Tauhid, Tahlil dan Ceritera Bu Idah. Di urutan berikutnya ada Mohammad Natsir yang menulis roman Hidup Bahagia bersama Nasroen AS, Tamar Djaja yang menulis roman Tersesat, Emzita yang menulis Imbauan Ka’bah, Utsman Sholehuddin yang menulis Saur Mama, Endang Saifuddin Anshari yang menulis Cahaya di Atas Cahaya. Rudi Rusyana yang menulis Sang Marginalis dan terakhir Udo Yamin Majdi yang menulis Bara Musa di Taman Terpasung.

 

Khatimah

Menarik jika kemudian ragam kekayaan khazanah intelektual ini bisa terus digali dan dikembangkan dalam kerangka menopang dakwah Persatuan Islam ke depannya. Terlebih jika Persatuan Islam memberikan kesempatan kepada generasi pelanjutnya baik di Pemuda, Pemudi, HIMA, HIMI, IPP dan IPPi untuk terus mengembangkan bakat serta keberadaannya apalagi difasilitasi untuk terus mengaktualisasikan diri dan dakwahnya dalam bidang-bidang yang pernah diisi oleh para pendahulunya. Kehadiran komunitas-komunitas kepenulisan di lingkungan jam’iyyah Persatuan Islam seperti Madrasah Pena (Pameungpeuk), Pena Rahayu Kreatif (Margaasih), Sesajen (Tasikmalaya) dan sejumlah komunitas lainnya bisa turut menguatkan dakwah Persatuan Islam ke depannya. Hal ini bisa dimaksimalkan asalkan ada kemauan dari berbagai pihak khususnya Persatuan Islam dan otonomnya.

Bahkan bila dipandang perlu untuk pengembangan dakwah ke depannya, rasa-rasanya cukup memungkinkan jika Persatuan Islam membentuk satu lembaga khusus untuk mengisi ruang dakwah kebudayaan sebagaimana Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (LESBUMI) yang dimiliki Nahdlatul Ulama, Lembaga Seni Budaya dan Olahraga (LSBO) yang dimiliki oleh Muhammadiyah. Hingga ke depannya diharapkan dakwah Qur’an Sunnah ala Persatuan Islam bisa membumi serta mengakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia khususnya dan dunia internasional pada umumnya. Wallahu a’lam bish shawwab.****

 

Bahan Bacaan :

·         Howard M Federspiel, Labirin Ideologi Muslim, Jakarta: Serambi, 2004

·         Mohammad Natsir, Fiqhud Dakwah, Jakarta: Dewan Dakwah Islamiyyah Indonesia, 1977.

·         Ajip Rosidi, Ikhtisar Sejarah Sastera Indonesia, Bandung: Pustaka Jaya, 2013.



[1] Jumlah ini didasarkan kepada dokumen atau karya sastra yang dihimpun Pesantren Sastra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar