Sabtu, 15 Oktober 2022

A Hassan : Ulama Umat, Teladan Seluruh*

 

 

Aldy Istanzia Wiguna**

Ahmad Hassan lahir di Singapura pada tahun 1887 dan wafat di Surabaya pada tanggal 10 November 1958. Sebagai seorang tokoh pembaharu, Ahmad Hassan mendapat didikan awal dari ayahnya yang bernama Sinna Vappu Maricar, seorang penulis yang cukup ahli dalam bidang agama Islam dan kesusastraan Tamil. Ia diajarkan ayahnya mulai dari tata bahasa Tamil  dan ilmu-ilmu keagamaan lainnya. Masa kecil Ahmad Hassan dilewati di Singapura. Pendidikannya bermula di sekolah dasar, tetapi Ahmad Hassan tidak sempat menyelesaikannya. Kemudian ia masuk sekolah Melayu dan menyelesaikannya hingga kelas empat dan belajar di sekolah dasar pemerintah Ingris sampai tingkat yang sama, sambil belajar bahasa Tamil dari ayahnya. Di sekolah Melayu itulah, Ahmad Hassan belajar bahasa Arab, Melayu, Tamil dan Inggris. Pada usia tujuh tahun, sebagaimana anak-anak pada umumnya, ia belajar Al-Qur’an dan memperdalam agama Islam.

Pada usia 12 tahun, A. Hassan mulai bekerja. Sembari mencari nafkah, ia menyempatkan diri belajar privat dan berusaha menguasai bahasa Arab sebagai kunci untuk memperdalam pengetahuan tentang Islam. Dia belajar di toko milik iparnya, Sulaiman sambil terus belajar mengeja pada Muhammad Thaib, seorang guru yang terkenal di Minto Road. Pelajaran yang diterimanya saat itu sama saja dengan apa yang diterima anak-anak lain seperti tata cara shalat, wudhu, shaum dan lain-lain.

Selain kepada Muhammad Thaib, tercatat beberapa nama sempat menjadi gurunya seperti Abdul Lathif, sang paman juga Syekh Hassan dan Syeikh Ibrahim, seorang ulama yang berasal dari India. Beliau mempelajari dan memperdalam Islam dari beberapa guru tersebut sampai kira-kira tahun 1910, menjelang ia berusia 23 tahun. Beberapa pekerjaan pernah digelutinya seperti menjadi agen es batu, tukang vulkanisir mobil sampai menjadi penulis tidak tetap di beberapa majalah hingga diangkat menjadi salah satu anggota redaksi di surat kabar Utusan Melayu.

Menjadi Penulis di Utusan Melayu

Di sekitar tahun 1912-1913, ia menjadi salah satu anggota redaksi surat kabar Utusan Melayu yang diterbitkan oleh Singapore Press di bawah pimpinan Inche Hamid dan Sa’dullah Khan. Di surat kabar ini, untuk pertama kalinya Ahmad Hassan menulis artikel tentang Islam yang bersifat nasihat, anjuran berbuat baik dan meninggalkan kejahatan dalam bentuk syair. Masalah akidah dan ibadah juga tidak luput dari sorotannya. Terkadang tulisannya berupa kritikan terhadap hal-hal yang dianggapnya tidak sesuai dengan ajaran Islam. Bahkan, dalam salah satu tulisannya, ia pernah mengecam qadli yang dalam memeriksa suatu perkara mengumpulkan tempat duduk pria dan wanita dalam satu ruangan.

Menarik bila disimak, perjalanan menulis Ahmad Hassan dalam koran atau surat kabar Utusan Melayu ini. Lazimnya, sebuah tulisan dalam koran yang biasanya berisi artikel keagamaan. Ahmad Hassan justru menuliskannya dalam bentuk syair atau puisi lama yang berbentuk bait sebanyak empat baris dalam satu baitnya. Tulisan-tulisan Ahmad Hassan yang berbentuk syair ini ternyata banyak diminati hingga pada satu kesempatan redaktur surat kabar tersebut memberinya rubrik tanya-jawab seputar keagamaan sebelum nantinya berpindah ke dalam majalah Pembela Islam yang dikelolanya kelak bersama murid-muridnya seperti Mohammad Natsir dan Isa Anshary ketika dirinya bergabung dengan Persis di tahun 1926.

Tradisi Literasi dan Intelektualitas A. Hassan

Pada tahun 1926, ketika Ahmad Hassan memutuskan untuk belajar tenun di Bandung dan mendirikan pabrik tenun di daerah Majalaya. Ia sempat belajar dan ikut pengajian dalam sebuah perkumpulan yang didirikan oleh dua saudagar dagang dari Palembang bernama Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus di tahun 1923. Nama dari perkumpulan itu adalah Persatuan Islam (Persis). Organisasi atau perkumpulan tersebut biasanya mengadakan kenduri atau pengajian-pengajian kecil yang diadakan di sebuah mesjid yang terletak di Jalan Pangeran Sumedang (kini Otto Iskandardinata). Mulanya, Ahmad Hassan tertarik dengan pembahasan-pembahasan yang dikaji dalam pengajian itu. Salah satu tema yang biasa dikaji dalam perkumpulan itu adalah hal-hal yang berkaitan dengan bid’ah, khurafat, dan takhayul. Seiring waktu berjalan, Ahmad Hassan justru diminta untuk memberikan pengajaran atau corak berbeda dalam setiap pengajian dan kenduri yang diadakan sampai akhirnya ia didaku menjadi guru dari perkumpulan yang organisasi awalnya berjumlah 20 orang.

Pada masanya, organisasi Persatuan Islam dikenal galak dan tegas. Tercatat beberapa perdebatan sengit pernah digelar organisasi masa itu dengan Ahmad Hassan sebagai pembicaranya. Perdebatan-perdebatan itu tidak hanya terjadi di muka umum saja melainkan dalam surat-surat kabar yang dikelola Persatuan Islam. Salah satu perdebatan yang paling terkenal pada masa itu adalah perdebatan Persis dengan Ahmadiyah yang dilakukan di Batavia dan Bandung dengan lawan debat diantaranya Abu Bakar  Ayyub, Abdurrazak dan Rahmat Ali sebagai utusan Ahmadiyyah dari Qadiyan. Sedangkan perdebatan-perdebatannya yang melalui media massa antara lain dengan Prof. Schoumaker dan dengan golongan Kristen Seven Advent di majalah Pembela Islam.

Pribadi Ahmad Hassan yang literat ternyata turut ditularkan kepada beberapa muridnya seperti Isa Anshary, Mohammad Natsir dan Endang Abdurrahman. Ketiga muridnya ini biasa dilibatkan bilamana Ahmad Hassan hendak berdebat atau menulis satu dua artikel. Biasanya, bilamana ia hendak berdebat yang biasanya dilibatkan untuk turut serta menyeleksi kitab-kitab referensi yang akan digunakannya berdebat adalah Endang Abdurrahman. Sementara, Isa Anshary dan Mohammad Natsir mendapat tugas untuk menjadi editor atas tulisan-tulisan Ahmad Hassan yang hendak diterbitkan atau dipublikasikan di majalah-majalah yang dikelola Persatuan Islam saat itu semisal Pembela Islam, Aliran Islam dan Al-Lisan.

Selain itu, Ahmad Hassan juga terbiasa menerbitkan tulisan-tulisannya secara mandiri. Hal itu dilakukan dengan prinsip berdiri di atas kaki sendiri. Tercatat sampai akhir hayatnya Ahmad Hassan telah menulis sebanyak kurang lebih 83 judul buku yang terdiri dari persoalan-persoalan ibadah, akhlak, politik sampai buku-buku kesusastraan yang ditulis Ahmad Hassan dalam enam jilid diantaranya Syair yang ditulis sebanyak dua jilid dan Tertawa yang ditulis sebanyak empat jilid. Ini membuktikan bahwa ulama-ulama Persis pada masa itu termasuk ulama yang multi disiplin ilmu. Hal ini bisa dilihat dari beragamnya tulisan Ahmad Hassan juga murid-murid beliau semisal Mohammad Natsir dan Isa Anshary.

Bila ditelisik lebih jauh tentang aktivitas literasi Ahmad Hassan, kita akan menemukan sejumlah fakta terkait pengaruh orang-orang di sekitar yang mempengaruhi pemikiran-pemikiran, intelektualitas serta literasi Ahmad Hassan. Dalam bukunya yang berjudul Hassan Bandung, Pemikir Islam Radikal, Ahmad Syafiq Mughni menjelaskan setidaknya ada tiga faktor yang mempengaruhi pemikiran Ahmad Hassan diantaranya adalah : (1) pengaruh keturunan, (2) pengaruh bacaan, (3) pengaruh pergaulan.

Pertama, bila dilihat dari pengaruh keturunan, Ahmad Hassan tercatat pernah belajar saat di Singapura kepada empat guru dari India yang kesemua gurunya itu memiliki pemahaman Wahabi (sebuah gerakan pemurnian Islam yang diinisasi oleh Muhammad bin Abdul Wahab). Keempat gurunya itu adalah Thalib Rajab Ali, Abdurrahman, Jaelani dan Ahmad, ayah Ahmad Hassan sendiri. Keempat orang itu terkenal dengan faham Wahabinya dikarenakan sangat menentang dan tidak mau membenarkan adanya talqin, ushalli, tahlilan dan lain sebagainya.

Kedua, bila dilihat dari pengaruh bacaan ada beberapa bacaan yang turut mempengaruhi pemikiran serta intelektualitas A. Hassan dalam tulisan-tulisannya yang kita kenal selama ini. Diantara buku-buku dan koran atau surat kabar yang mempengaruhi pemikiran Ahmad Hassan diantaranya adalah majalah Al-Manar, sebuah majalah terbitan Mesir yang didapatkan A. Hassan dikarenakan sang kakak ipar Abdul Ghani terbiasa berlangganan majalah tersebut, lalu ada majalah Al-Imam, sebuah majalah yang mula-mula dipimpin oleh Al-Hadi, kemudian Thahir Jalaluddin dan akhirnya oleh seseorang bernama Abbas. Saat di Surabaya, Ahmad Hassan mendapatkan buku Kafa’ah yang ditulis oleh Ahmad Surkati, seorang pembaharu Islam juga pendiri organisasi Al-Irsyad. Isi buku tersebut diantaranya berkisah tentang fatwa Ahmad Surkati yang menerangkan bahwa muslim dengan muslimah diperbolehkan menikah tanpa memandang golongan dan derajat. Selain buku Kafa’ah yang ditulis oleh Ahmad Surkati, A Hassan pun tercatat dipengaruhi juga oleh buku Bidayatul Mujtahid karangan Ibnu Rusyd pada saat ia bertamu ke rumah sahabatnya Bibi Wantee. Salah satu persoalan yang dibahas di dalam buku tersebut adalah persoalan tentang perbandingan keempat mazhab fiqih seperti mazhab Syafi’i, Hanafi, Hambali dan Maliki. Di Bandung, pemikiran Ahmad Hassan turut diwarnai oleh buku-buku seperti Zadul Ma’ad karangan Ibnul Qayyim Jauziyyah, Nailul Authar karangan Asy-Syaukani dan Al-Manar di bagian fatwanya.

Ketiga, bila dilihat dari pengaruh pergaulan di sekitarnya. Tercatat pemikiran Ahmad Hassan turut dipengaruhi oleh salah seorang gurunya yang berasal dari Mesir saat dirinya sama-sama mengajar di sekolah Assegaf. Dalam beberapa kali pertemuan Ahmad Hassan terlihat mencium tangan (taqbil) kepada seseorang yang tergolong sayyid. Pada satu perjamuan makan malam di rumah kawannya yang berasal dari Mesir, ia dicaci maki habis-habisan karena sikapnya yang terkesan merendahkan dan dianggap menghinakan diri terhadap sesama manusia. Hal tersebut mendorong dirinya untuk menulis sebuah artikel dalam majalah Utusan Melayu tentang taqbil. Tulisannya bersifat pertanyaan dengan kesimpulan ‘apakah soal tersebut tidak merendahkan sesuatu golongan diantara kaum muslimin. Pada tahun 1917, ia bersama seorang kawannya Hisyam Yunus berniat mengarang sebuah buku agama yang semata-mata beralasan Qur’an dan Sunnah. Niat ini sampai pada usaha mengadakan persiapan-persiapan tetapi setelah menelaah isi kitab Shahih Bukhari mereka bertemu beberapa hal yang bertentangan dengan mazhab Syafi’i, salah satunya tentang air musta’mal. Namun, niat ini diurungkan karena mereka berdua tidak berani menentang ajaran mazhab Syafi’i. Selain itu, waktu di Surabaya, A Hassan tercatat banyak bergaul dengan Faqih Hasyim serta tercatat menghadiri pertemuan-pertemuan Al-Irsyad di bawah bimbingan Ahmad Sorkati. Sementara itu, saat ia di Bandung, ia tercatat bergaul akrab dengan Haji Zamzam dan Muhammad Yunus dari Persatuan Islam yang kelak pada tahun 1926, Ahmad Hassan sendiri melamar menjadi anggota Persis hingga akhirnya diangkat menjadi Guru Utama Persatuan Islam.

Kesimpulan

Menarik bilamana kita menyimak sekilas perjalanan intelektual seorang Ahmad Hassan. Seseorang yang mumpuni dalam segala bidang. Seseorang yang meninggalkan banyak karya dan karsa untuk kehidupan jam’iyyah di masa yang akan datang. Tidak hanya perjalanan beliau dalam berkarya, namun juga keuletan beliau dalam menelisik banyak kitab, membaca, mempelajarinya lalu tanpa sungkan menerima kritikan dari murid-muridnya tentu menjadi satu tugas penting untuk gerak jam’iyyah ke depannya. Ahmad Hassan tidak hanya mengkaderkan murid-muridnya untuk menjadi pelanjut jihad jam’iyyah secara fisik. Namun juga mengkader daya intelektualitas murid-muridnya dengan menjadikan mereka sebagai kawan atau partner dalam menulis atau bahkan dalam berdebat semisal salah satu murid kesayangannya yakni Endang Abdurrahman. Satu pertanyaan yang kemudian layak kita hadapkan ke depan adalah, sudah siapkah kita menjadi pelanjut dari gerak intelektualitas seorang Ahmad Hassan, sebab bukankah dakwah Persis itu sudah seharusnya melahirkan pelanjut bukan pengikut. Semoga, ada satu diantara sekian banyak anggota di jam’iyyah ini yang bisa melanjutkan perjuangan intelektual seorang Ahmad Hassan.***

Daftar Bacaan :

  • Tamar Djaja, Riwayat Hidup A. Hassan, Jakarta: Penerbit Mutiara, 1980 
  • A Syafiq Mughni, Hassan Bandung Pemikir Radikal, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1980 
  • Dadan Wildan, Yang Dai Yang Politikus, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1997

 



[1] Tulisan ini pada awalnya berjudul Genealogi Literasi Ahmad Hassan dan pernah dimuat di majalah Raudhah pimpinan ustadz Amin Muchtar

[2] Penulis merupakan khadim Lembaga Studi Sastra dan Literasi Pemuda Persis

Minggu, 11 September 2022

PERSATUAN ISLAM : HAYAT, KIPRAH DAN SOSOK

 

kumparan


‘Ia (Persis) mencari kualitas, bukan kuantitas. Ia mencari isi, bukan jumlah. Karena itu, organisasi ini tampil sebagai salah satu sumber kebangkitan dan kesadaran baru bagi umat Islam serta menjadi kekuatan dinamika dalam menggerakkan kebangkitan umat Islam’ 

-KH Isa Anshary dalam buku Renungan Empat Puluh Tahun Persis-

Persatuan Islam atau Persis didirikan di Bandung pada tanggal 12 September 1923. Kehadiran Persatuan Islam pada masa itu dibentuk dikarenakan kesadaran dua tokoh utamanya yakni Haji Zamzam dan Haji Yunus menyaksikan perilaku keagamaan kaum muslimin di Indonesia yang masih berbalut jumud, taklid, serta praktik bid’ah, khurafat dan takhayul. Dengan mengusung gagasan tentang ruju ilal Qur’an was Sunnah atau kembali kepada Qur’an dan Sunnah keduanya lantas menggelar kajian-kajian keislaman di rumahnya dalam bentuk study club. Berawal dari jamaah shalat Jum’at, diskusi-diskusi yang biasanya diselenggarakan oleh Haji Zamzam dan Haji Yunus mulai menarik minat banyak orang baik dari kalangan modernis maupun tradisionalis. Jumlah anggota awal Persatuan Islam saat itu berjumlah dua puluh orang saja. Baru di tahun 1926, seorang faqih asal Singapura bernama Ahmad Hassan ikut serta dan bergabung dalam diskusi-diskusi keagamaan tersebut. Kehadiran Ahmad Hassan pada forum diskusi yang diadakan Haji Zamzam itu semakin membuka ruang untuk menelaah dan mengkaji Islam langsung dari sumber utamanya yakni Qur’an dan Sunnah.

Dakwah Persatuan Islam

Sebagaimana diungkapkan di awal, kehadiran Persatuan Islam diawali dengan diskusi-diskusi keagamaan yang diadakan di rumah Haji Zamzam. Dalam momentum yang karib disebut sebagai kenduri atau syukuran biasanya Haji Zamzam mengadakan diskusi tentang perlu adanya reformasi dan modernisasi Islam di Indonesia mengingat kondisi kaum muslimin pada masa itu yang dibiarkan terlena oleh imperialisme dan kolonialisme Belanda. Pola dakwah dengan diskusi itu merupakan pola awal yang sampai hari ini masih berkembang di Persatuan Islam bahkan sampai kehadiran Ahmad Hassan sebagai tokoh dan guru utama Persatuan Islam di tahun 1926 menambah semarak diskusi yang diadakan kala itu. 
 
Tak hanya diskusi keagamaan saja, forum-forum perdebatan pun turut menghiasi perjalanan dakwah Persatuan Islam. Mulai dari debat secara terbuka sampai debat di media massa. Perdebatan baik dengan golongan maupun perorangan menjadi sesuatu yang khas dari Persatuan Islam di masa itu. Tak terbilang berapa banyak perdebatan terbuka yang digelar mulai dengan Ahmadiyyah, tokoh atheis, Nahdlatul Ulama, Perti, serta sederet perdebatan lain melalui media massa seperti perdebatan soal kebangsaan dengan Soekarno, perdebatan soal taqlid dengan KH A Wahab Hasbullah dan sejumlah perdebatan lainnya menambah semarak perjalanan dakwah Persatuan Islam di medio awal tahun 1930-an. 
 
Semarak dakwah itu terus berlanjut. Tak sekadar mahir berkata-kata di mimbar, para ulama Persatuan Islam pun terkenal dengan ketajaman gagasannya melalui tulisan-tulisan di berbagai media massa kala itu. Media massa seperti Pembela Islam, Al-Lisaan, Al-Fatwa, At-Taqwa, Aliran Islam, Risalah, Al-Muslimun dan sejumlah media massa lainnya baik yang diterbitkan pimpinan pusat maupun pimpinan cabang menjadi ajang adu gagasan serta menampilkan dakwah bil kitabah khas Persatuan Islam. Tak sekadar menulis artikel di berbagai media massa, para tokoh utamanya seperti Ahmad Hassan, Isa Anshary, E Abdurrahman, O Qomaruddin Shaleh, Fachruddin Al-Khahiri, Sabirin, Kemas Ahmad dan sejumlah nama lainnya pun menulis dalam berbagai macam buku dengan beragam tema. Dakwah Persatuan Islam pun perlahan mulai diterima masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Jawa Barat. Hingga kemudian dari semarak dakwah ini semakin menunjukkan dan mengokohkan Persatuan Islam dengan tradisi keilmuannya yang khas.

Politik Persatuan Islam

Salah satu arena dakwah Persatuan Islam yang paling dikenal adalah melalui politik. Meski tidak terlalu menonjol jika dibandingkan dengan Muhammadiyah atau Nahdlatul Ulama dalam urusan politik. Kiprah dakwah Persis dalam dunia perpolitikan bisa dilihat dengan corak khasnya. Tokoh-tokoh utama Persis dikenal sebagai anggota aktif Partai Masyumi. Tak hanya menjadi anggota partai belaka, para aktivis utama ini pun turut serta mewarnai gagasan Islam bernegara sebagai anggota dewan seperti di Majelis Konstituante sampai perdana menteri. Tentu kita akan ingat bagaimana kiprah Mohammad Natsir, sang penggagas Mosi Integral di ranah perpolitikan itu. Belum lagi rangkaian kiprah penuh keteladanan yang dihadirkan banyak sosok seperti Isa Anshary, E Abdurrahman dan sejumlah nama lainnya semakin mengukuhkan kiprah Persis dalam soalan dakwah siyasah. 
 
Meski pada akhirnya kiprah dakwah politik ini harus berakhir seiring mundurnya Persis dari anggota majelis kehormatan partai Masyumi. Namun, lagi-lagi keteladanan para tokoh utama ini dalam soalan politik adalah keniscayaan. Tulisan-tulisan bernas A Hassan, Isa Anshary, Moenawar Chalil, Hasbi Ash-Shiddieqy, serta sejumlah nama lain termasuk Mohammad Natsir menjadi bukti keteladanan bagaimana kiprah nyata mereka. Belum lagi teladan tenggang rasa atau toleransi mereka yang sangat tinggi terhadap lawan politiknya. Kita bisa menyaksikan bagaimana hubungan mesra Isa Anshary dan DN Aidit selepas perdebatan panas di ruang sidang gedung Merdeka. Kisah tentang teladan utuh dan penuh seluruh Mohammad Natsir dengan ragam tokoh berbeda gagasan semisal IJ Kasimo dan lain sebagainya.Sekali lagi, ini menjadi bukti utuh dari keteladanan sosok-sosok besar yang tumbuh dan berkiprah di bawah naungan jam’iyyah Persatuan Islam.

Budaya Persatuan Islam

Salah satu dari sekian banyak uslub dakwah yang ditempuh para tokoh Persatuan Islam yang belum banyak digali juga dikaji adalah dakwah melalui budaya. Satu dari sekian banyak khazanah dakwah Persatuan Islam yang tertimbun kini mulai ditemukan mutiaranya. Beragam karya seni mulai dari musik, sastra hingga kaligrafi sampai dunia pewayangan nyatanya turut mewarnai dakwah Persis di tahun-tahun kegemilangannya. Rupa tokoh dan sosok yang menghadirkan dakwah ini dengan membawa ciri khas Persatuan Islam tetap utuh dan saling mengutuhkan. Dalam dunia budaya khususnya sastra, lagi-lagi kita akan diajak berkenalan dengan sosok seperti Ahmad Hassan, Isa Anshary, E Abdurrahman, E Abdullah, Endang Saifuddin Anshari, Utsman Sholehuddin, Syarief Sukandi, Suraedi dan sejumlah nama lainnya berikut karya mereka yang luar biasa dalam bidang budaya. 
 
Karya-karya tersebut tersusun dan terabadikan dalam beragam bentuk mulai dari karangan prosa, puisi, hingga naskah drama. Menarik untuk menelaah dibalik penciptaan karya-karya ini. Tak sekadar menuliskan bait sajak, paragraf prosa ataupun dialog drama tapi ciri khas dakwah Persis nampak dalam karya sosok-sosok terbaik itu. Syair, Tertawa, Pepatah, Saur Mama, Hariring Wangsiting Gusti nu Maha Suci, Cahaya di Atas Cahaya, Tersesat, Tahlil, Tauhid, Ceritera Bu Idah, Hidup Bahagia, Fantomim Sunda sampai pada lirik hymne dan mars yang dicipta seperti mars Rijaalul Ghad, Ummahatul Ghad, dan Pemuda Persis menjadikan ciri khas tersendiri dari kekayaan khazanah intelektual yang dihadirkan alim ulama dan intelektual Persatuan Islam untuk masa-masa berikutnya. 
 
Teladan Sosok, Teladan Penuh Seluruh  
 
Kehadiran Persatuan Islam dalam rangkaian panjang perjalanan sejarahnya yang membentang dari tahun 1923 sampai hari ini menjadi bukti bahwa keberlangsungan dakwah Persatuan Islam tidak akan pernah selesai sampai kapanpun juga. Sejatinya kita akan selalu terhubung dengan masa lalu sampai hari depan nanti. Sebuah perjalanan panjang dimana utuh mengutuhkan hingga pada sosok kita akan belajar tentang keteladanan utuh dan penuh seluruh. Keteladanan yang diharapkan bisa dilanjutkan para pelanjutnya di hari hadapan. Ia hanya seucplik dari sekian banyak keragaman kiprah dan hayat dakwah Persatuan Islam. Dalam bilangan usia yang semakin sepuh, tentu kita berharap bahwa rumah berlambang bintang dengan dua belas sudut ini akan tetap mempunyai kesatuan arah dan tuju sebagaimana dicita para pendirinya yakni kesatuan suara, usaha, rasa dan pemikiran Islam. Seluruh kesatuan tuju tersebut hanya bisa kita dapatkan bilamana kita mau jujur dan jernih memandang sejarah, hayat, kiprah serta pemikiran para tokoh pendahulunya. 
 
Maka, sebagaimana kesatuan tuju tersebut. Izinkan kami untuk kembali menyatukan kesatuan ruhul jihad dan ijtihad dengan menghadirkan serta mengenalkan sebagian kecil dari kebanyakan sosok-sosok besar Persatuan Islam untuk melihat masa depan Islam dan kaum muslimin di republik ini lebih dekat. Sebab sebagaimana pernah diujarkan Syaikh Musthafa Al-Gulayani bahwa pemuda di masa sekarang adalah bapak di masa yang akan datang, dan pemudi di masa sekarang adalah ibu di masa yang akan datang. Atau sebagaimana dituturkan guru kami al-ustadz Amin Muchtar dalam salah satu sesi kajiannya pernah mengujarkan, bahwa bilamana anda ingin melihat Persis di masa yang akan datang, maka lihatlah Pemuda Persis-nya hari ini, dan bilamana anda ingin melihat Persistri di masa yang akan datang, maka lihatlah Pemudi Persis-nya hari ini. Wallahu a’lam bish shawwab.**** 

Oleh : Aldy Istanzia Wiguna, khadim Lembaga Studi Sastra dan Literasi Pemuda Persis
 
Bahan Bacaan : 

  • Howard M. Federspiel, Labirin Ideologi Muslim, Jakarta: Serambi, 2004 
  • Atip Latiful Hayat dkk, Persis di Era Millenium Kedua, Tangerang Selatan: Media Kalam, 2020 
  • Ginanjar Nugraha dkk, Dinamika Intelektual Muda Persis, Bandung: LKTPI, 2021

 

 


Sabtu, 22 Mei 2021

Meneroka Jalan Literasi Persis

 

Muhamad Ridwan Nurrohman

(tulisan ini telah dimuat di buku Persis di Era Millenium Kedua)

 

“Meninggalkan buku,

adalah meninggalkan akar peradaban”

 

A.    PENDAHULUAN

Waktu satu abad, bukanlah waktu yang sebentar. Secara hakiki, maupun secara majazi. Siapapun yang mampu bertahan selama itu, maka hampir dapat dipastikan ia memiliki kelebihan. Jika manusia, ia tentu memiliki “kelebihan” jatah usia yang cukup banyak. Di sisi lain, orang-orang biasa memahami, bahwa manusia itu punya kesehatan dan pola hidup yang baik, sehingga “panjang umurnya”. Begitu pula sebuah organisasi, jika ia mampu bertahan hingga waktu satu abad, tentu ia memiliki kelebihan dibandingkan selainnya, yang bahkan tidak mampu bertahan selama itu. Berbicara rekam jejak atau dalam istilah orang Sunda; tatapakan, tentu ia juga akan memiliki banyak kisah untuk diceritakan. Meski mungkin tak banyak orang yang mencatat dan mendengar kisah-kisah itu. Begitu pula Ormas Islam yang dinamakan Persatuan Islam (Persis). Sejak kehadirannya pada tahun 12 September 1923, kini terhitung 3 tahun lagi saja hingga ia berumur tepat satu abad, mendekati “kakak seperjuangannya” yaitu Muhammadiyah.

Bicara soalan waktu yang telah dilaluinya, tentu bekas-bekas tatapakan itu pasti ada, bukan urusan kecil, besar, banyak ataupun sedikit. Tapi sekali lagi, adakah yang mencatat, menghimpun, memperdengarkan, juga seberapa jauh jangkauan dari semua kisah itu dapat didengar oleh masyarakat umum sebagai syi’ar, ataupun oleh para generasi penerusnya sebagai kaderisasi. Karena sebagaimana ucapan M. Natsir, dengan menuliskan rekam jejak itu, “kita tidak bermaksud menonjolkan jasa, tapi tidak rela sejarah dihilangkan”.[1] Dalam hal ini, seirama betul dengan akronim yang dewasa ini dikenal sebagai jargon Presiden RI Pertama, Soekarno, yaitu Jasmerah; Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. Namun bagaimana mungkin kita peduli pada sejarah dan bekas-bekas tatapakan perjuangan Islam, khususnya Persatuan Islam, jika menemukan catatannya saja begitu seulit. Hingga untuk menemukan ungkapan Natsir di atas saja, penulis cukup kesulitan dari sekedar mencari sumber sekunder apalagi sumber aslinya. Maka peduli terhadap sejarah, berarti juga kita mesti membuka akses informasi menuju sumber-sumber itu, baik melalui akses fisik maupun digital. Bagaimana mungkin kita akan memiliki kebanggaan terhadap rumah perjuangan ini, jika mengenalnya saja kita tak yakin. Bagaimana mungkin kita rela memperjuangkan, jika rasa memiliki saja kita tak punya. Lalu bagaimana mungkin kita meyakini dengan benar jalan yang tengah kita tempuh, jika ilmu dan informasi tentangnya saja kita tak tahu. Mana mungkin dapat melanjutkan, jika kita tak tahu apa saja yang pernah diperjuangkan? Sayangnya, semua informasi itu tidak mudah untuk dijumpai. Beruntunglah mereka yang sempat bersua para senior perjuangan yang sudi berbagi cerita tentang riwayat perjuangannya. Namun jika itu semua tak tercatat, bukankah ingatan kita kadang begitu rapuh, hingga kadang lupa hari, apalagi serentetan informasi. Bukankah ilmu itu binatang buruan, sedangkan menulis adalah tali kekangnya? Maka menghadirkan wajah literasi yang baik, adalah suatu tanggung jawab bersama, bagi siapapun yang menghendaki rumah ini senantiasa terjaga dan nyaman untuk dihuni. Atau akankah kita biarkan saja semua tatapakan sepanjang hampir satu abad ini hilang tanpa jejak? Atau kita hapus saja semua amal usaha kebaikan yang pernah dihadirkan para pendahulu kita, dengan ketidak-pedulian?

 

B.     PEMBAHASAN

1.        LITERASI DAN PERADABAN ISLAM

Dalam sejarah peradaban dunia, Islam pernah hadir sebagai sebuah peradaban raksasa yang memengaruhi hampir seluruh penjuru dunia. Berbagai gerakan dan pendekatan dilakukan demi menyebarkan kalimatullah di alam semesta ini. Perwujudan nyata, dari sebuah amanah luar biasa besar, khalifatullah fil ardh. Berbagai lini kehidupan, bidang keilmuan, dan seluruh lapisan masyarakat pernah disentuh dan ia berikan sibgoh; pernah ia warnai. Hasil yang ditunjukan, bahkan kita nikmati hari ini; segala kemudahan, kecepatan, ketepatan, ketenangan, berawal dari semua upaya orang-orang terdahulu kita. Islam, sangat menghargai semua usaha manusia, hingga Rasulullah Saw bersabda,

«مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً، فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا، وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً، فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا، وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ»

“Barangsiapa yang memulai mengerjakan perbuatan baik dalam Islam, maka dia akan memperoleh pahalanya dan pahala orang yang mencontoh perbuatan itu, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa yang memulai kebiasaan buruk, maka dia akan mendapatkan dosanya, dan dosa orang yang mengikutinya dengan tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.” (HR. Muslim, no. 1017)

Dalam litelatur sejarah, kita bahkan mengenal istilah assabiqun al-awwalun, sebuah ungkapan yang Allah Swt. sebutkan dalam firman-Nya:

«وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ»

“Dan orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang agung.” (QS. At-Taubah:100)

Dua landasan tersebut, cukup menjadi pijakan awal, betapa pentingnya kita menghargai jejak para pendahulu kita, apalagi mereka adalah orang-orang shalih yang pernah berjuang keras untuk ummat. Selain itu, ini juga menjadi sebuah pesan, betapa pentingnya kita meninggalkan “sesuatu” warisan untuk para penerus kita di esok hari. Sebuah warisan terbesar yang bisa ditinggalkan oleh manusia, sebagaimana warisan para Nabi; ilmu. Seperti dijelaskan dalam potongan hadis berikut ini:

«إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ، إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا، إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ، فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ»

“Sesungguhnya Ulama adalah pewaris para Nabi, dan sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanya mewariskan ilmu, maka siapa yang mengambilnya berarti ia telah mengambil bagian yang banyak.” (HR. At-Tirmidzi, no. 2606)

Lalu apalagi media ilmu yang paling mudah diberikan selain “literasi”; pendidikan dan buku. Itulah salah satu rahasia mengapa para Ulama dahulu begitu getol menuliskan ribuan karya, dalam berbagai fan ilmu juga dengan beragam model dan pendekatan. Mari kita lihat cuplikan bagaimana literasi menjadi nadi peradaban yang pernah hadir menjadi rahmatan lil ‘alamin.

Melalui wahyu pertama, Allah Swt. memberikan satu tugas yang dirasa amat berat oleh Nabi Muhammad Saw. saat itu. Bagaimana tidak, ia lahir di tengah masyarakat yang bukan masyarakat literat. Mereka para penghafal yang baik, namun dalam dunia tulis-menulis, tradisi mereka tidak begitu kuat.[2] Itulah mengapa dalam beberapa potongan Sirah Nabawiyah, Rasulullah Saw memberikan satu opsi pemerdekaan diri bagi seorang tawanan perang adalah dengan cara mereka mengajarkan baca-tulis kepada ummat Islam.[3] Dalam bahasa Ahmad Amin, masyarakat Arab Jahiliyah adalah orang-orang yang lisan (bahasa) mereka lebih cerdas daripada akalnya (rasionalitas).[4] Maka tidak mengherankan, banyak peneliti yang akhirnya menyebut masyarakat Arab sebagai masyarakat dengan oral tradition, tapi buta huruf, atau dalam istilah yang lebih populer dalam literatur sejarah, masyarakat ummi. Sebagaimana dinyatakan dengan jelas oleh Allah Swt melalui firman-Nya:

هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ

“Dialah, Allah, yang mengutus seorang Rasul kepada kaum yang buta huruf dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan jiwa mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah, meskipun sebelumnya, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Al-Jumu’ah: 2)

Sebuah perintah yang sangat bersifat literatif ini adalah sebuah dasar pemikiran yang betul-betul perlu dipikirkan ulang oleh setiap yang mengaku dirinya sebagai muslim. Jika dalam masyarakat ummi seperti itu saja Allah mewajibkan perintah membaca; dalam makna yang tentu saja sangat luas. Maka bagaimana kewajiban itu jika dijatuhkan kepada kita yang hidup di dunia kontemporer macam sekarang, yang telah banyak menerima limpahan warisan literasi yang tak tertandingi dalam sejarah agama manapun. Bukankah kewajiban itu menjadi semakin berlipat?

Sikap dan pendekatan Rasulullah Saw, yang dikatakan seorang yang ummi terhadap melek aksara itu sendiri juga mesti membuat kita sadar akan betapa pentingnya hal tersebut. Orang-orang inilah yang pada masa berikutnya menjadi penjaga gawang keaslian al-Quran dan Sunnah-sunnahnya. Coba kita tengok bagaimana sikap Abu Bakar as-Shiddiq, selepas wafatnya para sahabat penghafal al-Quran dalam perang Yamamah. Beliau memberanikan diri untuk menghimpun dan menuliskan mushaf al-Quran, walaupun ada keraguan dalam dirinya, ia takut menyelesihi Rasulullah Saw, melakukan perbuatan bid’ah dalam agama.[5] Ini mesti menjadi satu sinyal yang besar maknanya bagi kita hari ini, yang abai menuliskan ilmu, dan membiarkan ia terbawa mati dengan wafatnya para Ulama.[6] Saking pentingnya hal itu, Imam al-Bukhari sampai mencatat bab khusus dalam kitab shahih-nya, bab Kitabat al-‘Ilm.

Meskipun hal ini memang menyisakan perdebatan di kalangan para Ulama berikutnya. Khususnya dalam masalah penulisan hadis, bukan tanpa alasan tentu saja. Hadirnya riwayat larangan Rasulullah Saw untuk menuliskan hadis sempat tersiar di kalangan para sahabat awal, bahkan memengaruhi sikap sebagian ulama tabi’in seperti Ibnu Sirin (w. 110 H),  Ayyub as-Sakhtiyani (w. 132 H), dan Ibn ‘Aun (w. 151 H); yang berprinsip untuk tidak menulis hadis.[7] Beruntungnya, mereka adalah Ulama yang memiliki kekuatan hafalan yang luar biasa, dan memiliki jaringan murid yang juga sangat besar. Sehingga ilmu mereka tidak hilang begitu saja. Namun mesti dipahami juga, bahwa pemahaman ini tidak menjadi satu-satunya madzhab resmi kaum muslimin saat itu. Tengok misalnya Khatib al-Baghdadi yang menuliskan kitab khusus tentang ini, Taqyid al-‘Ilm, selain sikap Imam al-Bukhari yang sudah penulis sebutkan sebelumnya. Seiring berjalannya waktu, dan semakin tersebar luasnya ajaran Islam, urgensi penulisan dan pemilahan validitas sumber ajaran Islam ini semakin jelas di pandangan para Ulama[8], hingga dimunculkanlah berbagai fan ilmu dalam Islam, dari mulai tafsir, kritik hadis, dan berbagai ilmu penopang lainnya; sebagai upaya menjaga keaslian agama Islam.

Penulisan sumber ajaran ini, hanya satu pondasi awal dari kegiatan literasi peradaban Islam. Selebihnya dari itu, kegiatan literasi ini juga merambah dunia penerjemahan berbagai buku dari peradaban bangsa dan bahasa lain, seperti Yunani, Suryani, Mesir, Persia, India, Romawi, dan lainnya. Ini juga merupakan satu dari sekian banyak nadi seluruh peradaban dunia, sejak dulu hingga kini.[9] Setelah itu, upaya penyusunan karya ilmiah berupa inovasi, penelitian, dan uji coba juga dilakukan dengan sangat serius. Penyusunan buku-buku katalog karya ilmiah, lalu pengklasifikasian berbagai karya ilmiah pun menjadi pintu pembuka bagi berbagai penelitian orang-orang yang datang dari masa berikutnya. Belum lagi karya-karya kritik yang dihadirkan, perdebatan yang dibukukan, berbagai perbedaan pandangan yang ilmiah, hingga munculnya berbagai madzhab pemikiran, semua itu adalah hal-hal yang memperkaya dunia literasi Islam sepanjang sejarah. Maka hal apa lagi yang perlu kita dustakan dari pentingnya literasi bagi peradaban dunia ini?

 

2.        LITERASI DAN GENERASI PERSIS AWAL

Sekarang, mari kita beranjak untuk menengok gerakan Persis awal. Sejak awal kehadirannya, Persis adalah sebuah gerakan intelektual. Sebagaimana diungkapkan oleh Howard M. Federspiel, Persis lahir dari sebuah diskusi ilmiah, yang sering mengupas dan mendiskusikan sebuah produk literasi yang paling berpengaruh pada masanya, majalah al-Manar, sebuah majalah yang diterbitkan oleh Muslim modernis di Kairo.[10] Mungkin, terinspirasi dari itu pula lah, akhirnya Persis besar melalui percaturan isu, gagasan dan pemikiran; yang pada masa berikutnya, disebar-luaskan melalui berbagai media cetaknya. Sebut saja majalah Pembela Islam, Al-Fatwa, Al-Lisan; yang pada saat itu memiliki oplah hingga ribuan eksemplar.[11] Belum lagi berbagai koran, risalah-risalah kecil, maupun buku-buku besar, baik penerjemahan maupun hasil buah karya sendiri. Semua hal ini menegaskan begitu besarnya peran dan tatapakan Persis dalam dunia literasi pada masa itu.

Sebut saja salah satu tokohnya, Ahmad Hassan, dengan segala kelebihan dan kekurangan, serta perdebatan yang dimunculkannya, telah mampu hadir sebagai seorang yang terhitung generasi awal dalam penerjemahan al-Quran ke dalam bahasa Indonesia secara lengkap. Atau dalam istilah Howard M. Federspiel, A. Hassan hadir sebagai generasi kedua dalam upaya memahami al-Quran dalam bahasa Indonesia, setelah generasi sebelumnya baru mampu melakukan penafsiran atas sebagian kecil saja bagian dari keseluruhan al-Quran.[12] Belum lagi penerjemahan beliau kepada kitab Bulughul Maram, karya Imam Ibn Hajar, hingga di sebagian masyarakat ada yang menganggap Bulughul Maram sebagai kitab Persis, bahkan ada juga yang salah mengira sebagai tulisan A. Hassan sendiri. Bahkan, tidak jarang, ia menerjemahkan berbagai pepatah dan juga syair, baik yang berasal dari bahasa Arab ataupun berbahasa Inggris, seperti pepatah politik yang ia terjemahkan dari karangan Gurney Champion, yang ia kompilasikan dalam buku A.B.C Politiknya.[13] Ia juga menerjemahkan untaian syair al-Hikam karya Ibn Athaillah sebagai sisipan majalah. Ia dengan tegap membantah pemikiran-pemikiran Atheis dalam Adakah Tuhan?-nya.[14] Beliau juga terdepan menjawab pemikiran Ahmadiyah Qadiyan dalam Officieel Verslag Debat-nya.[15] Persis dengan Pembela Islamnya pun terdepan dalam wakil Kongres al-Islam ke 2 di Solo, Mei 1939, untuk menghadapi bahaya kristenisasi melalui buku Bibel Lawan Bibel-nya.[16]

Belum lagi apa yang dihimpun oleh D.P. Sati Alimin, dari tulisan-tulisan M. Natsir, dalam Capita Selecta yang hingga saat ini telah hadir 3 jilid besar, yang memuat buah pikiran Natsir sejak 1936-1960.[17] Gagasan-gagasan yang dihadirkan beliau tidak melulu soal masalah ibadah, meskipun beliau menulis pula buku Fiqih semacam Marilah Shalat, atau yang paling fenomenal tentu saja Fiqhud Da’wah, yang dijadikan pegangan wajib para da’i DDII, yang memuat begitu banyak mutiara khas, demi menjawab persoalan Islam dan Indonesia, yang tentu saja sulit ditemukan dalam kitab-kitab turats, yang ditulis oleh para Ulama yang bukan asli Indonesia.[18] Ia juga menerjemahkan, bahkan menjabarkan pemikiran Sir M. Iqbal, seorang tokoh pemikir besar asal Pakistan, dalam bukunya Dapatkah dipisahkan Politik dari Agama? Dalam buku tersebut, beliau dengan sangat lugas membabar puisi M. Iqbal, Shikwa dan Jawabi-Shikwa; “Pengaduan dan Jawabannya”.[19] Beliau juga tidak gagap menjawab persoalan Filsafat, Budaya bahkan Sastra sekalipun. Persis dengan kesiapan literasinya, mampu menjadi solusi dari sekian banyak masalah yang dihadapi ummat Islam pada masanya. Tak sekedar persoalan ibadah, sekali lagi. Ia juga mampu menjawab tantangan Pemikiran Islam, Aqidah, Muamalah, Filsafat, Sastra, Budaya, Akhlak, bahkan politik praktis sekalipun. Ia tidak menjadi objek, apalagi objek penderita. Tapi mampu menjadi subjek aktif yang mewarnai percaturan pemikiran Islam di Indonesia khususnya. Khairuddin az-Zirikli (w. 1396 H) seorang Ulama asal Damaskus, dalam kitab al-A’lam-nya memuat biografi singkat A. Hassan dengan nama menamakannya حَسَن بانْدُونْج . Az-Zirikli menyatakan, penerbitan majalah Pembela Islam, ternyata di cetak dalam tiga bahasa, Indonesia, Arab dan juga Inggris. Dan di dalamnya, memuat pemikiran yang kokoh dari A. Hassan, baik dalam bidang Fikih, Hadis, Tauhid bahkan Politik, dan dilirik bahkan oleh dunia Internasional pada saat itu.[20] Sekian contoh sederhana ini akhirnya mesti membawa kita untuk bercermin pada kondisi literasi kita saat ini. Lebih baik kah? Melemah? Atau justru telah bisa kita katakan hilang sama sekali?

 

3.        LITERASI DAN KONDISI PERSIS HARI INI

Untuk bertanya kabar tentang hal tersebut, penulis menyebarkan kuesioner online, selain dari beberapa pengalaman yang penulis sendiri temukan, rasakan dan dengar dari berbagai responden yang berasal dari beberapa Pimpinan Wilayah, khususnya di luar Jawa, terkait kondisi literasi Persis ini. Bahkan jika ditelisik lebih jauh ke berbagai perpustakaan yang ada di Pesantren dan Pimpinan Daerah hingga Jama’ah, data-data yang ditemukan sayangnya cukup memilukan. Hingga di tingkat kampus sekalipun, standarisasi yang dimiliki nampaknya belum maksimal. Padahal, ketersediaan pustaka, adalah satu modal berharga baik dalam aspek ilmiah, dakwah, kaderisasi dan bahkan doktrinasi; lebih jauh lagi, tentu saja peradaban.[21]

 


 

Misalnya, bisa kita lihat dari rincian katalog Perpustakaan PP. Persis di bawah ini:

 

DATA PERPUSTAKAAN

PIMPINAN PUSAT PERSATUAN ISLAM

 

Profil Perpustakaan

Perpustakaan Pimpinan Pusat Persatuan Islam didirikan pada tahun 2001 di masa kepemimpinan Drs. KH. Shiddiq Amien, MBA dengan maksud untuk mendokumentasikan serta memudahkan banyak kalangan untuk mengakses berbagai kepustakaan terkait Persis baik buku-buku, dokumentasi, maupun arsip-arsip lainnya untuk kepentingan pengkajian dan penelitian terkait Persis itu sendiri. Saat ini perpustakaan tersebut memiliki koleksi sebanyak kurang lebih 400 koleksi yang terdiri dari buku, foto dokumentasi, kaset, serta buku-buku. Saat ini perpustakaan tersebut dikelola oleh dua staf PP Persis yakni H. Oim Abdurrohim dan Ust. Farid Helmi. Perpustakaan tersebut beralamatkan di Jln. Perintis Kemerdekaan No 2-4, Bandung, 40117 dengan no kontak (022) 4220704 atau melalui fax dengan no kontak (022) 4220702.

 

Data Koleksi Perpustakaan

2 x 0 :

2 x 1 : 78

2 x 2 : 15

2 x 3 : 3

2 x 4 : 3

2 x 5 : 27

2 x 6 : 300

2 x 7 :

2 x 8 :

2 x 9 :

Sarana dan Prasarana Perpustakaan

1.      Ruang baca

2.      Lemari buku

3.      Komputer

SDM Perpustakaan

1.      H. Oim Abdurohim

2.      Farid Helmi

 

Ini adalah data yang dihimpun oleh Aldy Istanzia Wiguna, sebagai bekal yang ia bawa dalam acara yang diadakan Kemenag Pusat, terkait pemantauan kondisi literasi ormas islam. Untuk tidak mengecilkan peran, perbandingan angka yang hadir dari data ini, dibandingkan dengan angka yang hadir dari ormas lainnya seperti Muhammadiyah dan NU, tentu bukan hal yang menyenangkan untuk diungkapkan di sini. Berbicara secara fisik dan struktur pertanggung-jawaban pun, Persis masih menjadikan Perpustakaan di bawah naungan Sekretaris Umum, lain dengan dahulu yang memiliki Bahagian Pustaka, yang khusus membawahi pengurusan Perpustakaan. Belum lagi jika yang kita bahas adalah isi dari koleksi-koleksi tersebut.

Khazanah literasi Persis ini sebenarnya bukan tiada, hanya saja keberadaannya yang kini sulit untuk dilacak. Bagaimana tidak, Howard M. Federspiel saat menyusun Disertasinya yang kini diterbitkan menjadi buku Labirin Ideologi Muslim, ia akui mendapatkan semua data-data itu di Perpustakaan Pesantren Persatuan Islam 1-2, di Pajagalan. Namun hari ini, selepas dipindahkan ke Viaduct, begitu banyak sumber yang dirujuk Howard M. Federspiel dalam bukunya itu, tidak lagi ditemukan di Perpustakaan Persatuan Islam kini. Setelah penulis berasumsi bahwa ini adalah koleksi yang berbeda dengan yang pernah ditemui Federspiel di Pajagalan, namun faktanya, setelah penulis mengkonfirmasi ke Perpustakaan PPI Pajagalan sendiri, koleksi-koleksi itu memang sudah tidak dapat ditemui di sana. Lalu perlukah Perpustakaan Persis melengkapi kembali seluruh dokumen tersebut, 99% responden, menjawab YA! Untuk apa? Tentu saja menghadirkan data yang cukup, sebagaimana cita-cita awal pendirian dari Perpustakaan PP. Persis itu sendiri; mendokumentasikan serta memudahkan banyak kalangan untuk mengakses berbagai kepustakaan terkait Persis baik buku-buku, dokumentasi, maupun arsip-arsip lainnya untuk kepentingan pengkajian dan penelitian terkait Persis itu sendiri.

Lebih jauh lagi jika kita bicara soal ketersediaan akses bagi orang-orang yang berasal dari Pimpinan Wilayah di luar Jawa Barat. Seperti di Sulawesi Selatan misalnya, tempat penulis dahulu melaksanakan pengabdian. Bahkan akses ilmu berupa buku umum pun begitu sulit untuk didapatkan, apalagi buku terkait Persis. Meski masih ada satu hal yang wajib disyukuri, karena di sana penulis masih menemukan bahan ajar Diniyah yang ditulis oleh E. Abdullah, sebagai ciri khas pengajaran Diniyah Persis. Belum lagi wilayah lain, semacam Riau, Ambon, Kalimantan, atau bahkan Yogyakarta sekalipun, selain Bangil tentu saja. Bahkan yang masih berada di wilayah Jawa Barat pun, masih banyak kader yang kesulitan mendapatkan akses informasi terkait Persis ini. Mereka (62%) biasa mendapatkan informasi terkait Persis, melalui media Whatsapp. Majalah Risalah, sebagai salah satu, untuk tidak menyatakan satu-satunya Majalah Persis yang masih bertahan pun, sulit mendapatkan perhatian di wilayah-wilayah bahkan daerah di Jawa Barat sekalipun. Prosentase buku-buku Persis dan terkait Persis yang bisa mereka akses berada pada kisaran 89% adalah kurang dari 50 buku saja, dan 58% nya hanya bisa menemui 5-20 buku saja. Dan 11% saja yang berhasil menemui lebih dari 50 buku. Itu pun penulis tidak memisahkan buku karya pendahulu Persis dan para Asatidz Persis yang masih aktif menulis hingga hari ini seperti A. Zakaria, yang jelas bisa mewakili banyak sekali jumlah buku yang dapat ditemui tersebut.

Hal ini tentu saja bukan sebuah usaha yang mesti dibebankan kepada Pimpinan Pusat saja. Karena pada faktanya, begitu banyak buah karya dan juga beragam sumber rujukan para tokoh Persis di masa sebelumnya, yang masih tersimpan rapi di pihak keluarga. Sebut saja koleksi karya Ust. Syarief Sukandy, yang sempat langsung penulis temui beberapa waktu ke belakang. Meskipun ada juga yang koleksi-koleksi itu telah raib, dijual ke tukang loak.

 

C.    PENUTUP

Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, itulah kondisi rumah kita. Sebagai penutup, izinkan penulis menyampaikan terima kasih sedalam-dalamnya, kepada seluruh responden yang telah sudi menyampaikan ide dan gagasannya kepada penulis. Sebuah kaca sederhana, yang tentu saja mesti dilirik, untuk masa depan Persis yang lebih baik. Begitu banyak hal yang belum kita lakukan dengan serius, yang bahkan hanya dengan memulainya, dari hal yang terkecil sekalipun, akan membawa perubahan besar bagi pergerakan rumah kita bersama ini. Tidak ada pelaut hebat yang lahir dari gelombang yang tenang. Semua masalah ini, hadir untuk menuntut jawab dan aksi kita bersama. Seperti disebutkan sebelumnya, perkara literasi ini bukan masalah yang harus ditanggung Pimpinan Pusat saja. Perlu kerjasama yang baik, dari setiap elemen yang ingin menghadirkan kembali wajah Persis dalam dunia literasi, atau bahkan dalam kancah nasional sekalipun. Gerakan Persis yang dahulu membawa Federspiel jauh-jauh dari Australia ke Pajagalan, adalah jelas sebuah gerakan solutif, yang mampu menjawab banyak kebutuhan ummat. Apalagi menengok tulisan az-Zirikli dalam al-A’lam-nya di atas. Mestilah menjadi pemacu untuk kita, generasi Persis hari ini. Akankah Persis siap menjadi mujaddid lagi?

Menghadirkan Perpustakaan yang lengkap, apalagi melakukan digitalisasi dan penerbitan ulang karya-karya para pendahulu Persis, setidaknya akan menjadi benang merah yang tegas dan jelas bagi siapapun yang ingin menjadi penerus perjuangan rumah kita ini. Kolaborasi, kerjasama dengan para keluarga asatidz, maupun dengan berbagai lembaga seperti Pusat Dokumentasi Islam Indonesia Tamadun, Kemenag dan Perpustakaan Nasional, menurut penulis adalah langkah paling rasional untuk melengkapi puzzle tentang jejak perjuangan para pendahulu kita, untuk kita hadirkan beragam karya “inovasi” dari para anak mudanya, tanpa kehilangan jati-diri pergerakan Persatuan Islamnya tentu saja. Sebuah langkah yang perlu kita mulai, bukan dengan caci-maki ataupun menunjuk salah kepada selain kita, namun mesti kita kawal dengan semua usaha yang bisa dilakukan, untuk menghadirkan #ReformasiLiterasiPersis jelang Muktamar Persis ke-16 yang sudah di depan mata ini. Wallahu a’lam bi shawwab.

 


 

DAFTAR PUSTAKA

 

A. Hassan, Rahmat Ali, Abu Bakar Ayyub. 1986. Officieel Verslag Debat antara Pembela Islam dan Ahmadiyah Qadiyan. PB. Jemaat Ahmadiyah Indonesia.

A. Hassan. 1994. Adakah Tuhan? Bandung: Diponegoro.

A. Hassan. 1983. Bibel Lawan Bibel. Bangil: LP3B.

A. Syalabi. 2003. Sejarah dan Kebudayaan Islam 1. Jakarta: PAB.

Ali, Jawwad. 2018. Sejarah Arab Sebelum Islam. Jakarta: Alvabet.

Bachtiar (ed.), Tiar Anwar. 2013. Risalah Politik A. Hassan. Garut: Pembela Islam.

Basya, Ahmad Fuad. 2015. Sumbangan Keilmuan Islam pada Dunia. Jakarta: Pustaka al-Kautsar.

Chalil, Moenawar. 2001. Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad 2. Jakarta: GIP.

Cook, Michael. 2012. Oposisi Penulisan Hadis di Masa Islam Awal. Bandung: Marja.

Daftary (ed.), Farhad. 2002. Tradisi-tradisi Intelektual Islam. Jakarta: Erlangga.

Djaja, Tamar. Riwayat Hidup A. Hassan. Jakarta: Mutiara.

Federspiel, Howard M. 1996. Kajian Al-Quran di Indonesia. Bandung: Mizan.

__________________. 2004. Labirin Ideologi Muslim. Jakarta: Serambi.

M. Natsir, dan M. Iqbal. Dapatkah dipisahkan Politik dari Agama? Jakarta: Mutiara.

M. Natsir, dkk. Bahaya Takut. Serial Media Dakwah Edisi ke-20.

M. Natsir. 1989. Fiqhud Da’wah. Solo: Ramadhani.

M. Natsir. 2008. Capita Selecta 3. Jakarta: Penerbit Abadi dan Yayasan Capita Selecta.

Makdisi, George A. 2005. Cita Humanisme Islam. Jakarta: Serambi.

Nasar, M. Fuad. Islam dan Muslim di Negara Pancasila. Yogyakarta: Gre Publishing.

Syahin, Abdul Shabur. 2006. Saat al-Quran Butuh Pembelaan. Jakarta: Erlangga.

Zirikli, Khairuddin az-. 2002. al-A’lam. Lebanon: Dar ‘Ilm lil Malayin.



[1] “Bahaya Takut”, M. Natsir dalam Serial Media Dakwah Edisi ke-20, hlm. 1-22. Lihat juga, M. Fuad Nasar, Islam dan Muslim di Negara Pancasila. (Yogyakarta: Gre Publishing). Hlm. 43-44.

[2] A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 1. (Jakarta: PAB, 2003). Hlm. 28.

[3] Moenawar Chalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad 2. (Jakarta: GIP, 2001). Hlm. 56.

[4] Jawwad Ali, Sejarah Arab Sebelum Islam. (Jakarta: Alvabet, 2018). Hlm. 251.

[5] Abdul Shabur Syahin, Saat al-Quran Butuh Pembelaan. (Jakarta: Erlangga, 2006). Hlm. 182-184.

[6] HR. Bukhari, Kitab al-‘Ilm, Bab Kaifa Yuqbad al-‘Ilm, no. 98.

[7] Michael Cook, Oposisi Penulisan Hadis di Masa Islam Awal. (Bandung: Marja, 2012). Hlm. 27-29.

[8] “Kehidupan Intelektual pada Empat Abad Pertama Islam” oleh Hugh Kennedy, dalam Farhad Daftary (ed.), Tradisi-tradisi Intelektual Islam. (Jakarta: Erlangga, 2002). Hlm. 25-43.

[9] Ahmad Fuad Basya, Sumbangan Keilmuan Islam pada Dunia. (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2015). Hlm. 84.

[10] Howard M. Federspiel, Labirin Ideologi Muslim. (Jakarta: Serambi, 2004). Hlm. 112-113.

[11] “A. Hassan” oleh Deliar Noor, dalam Tamar Djaja, Riwayat Hidup A. Hassan. (Jakarta: Mutiara). Hlm. 116.

[12] Howard M. Federspiel, Kajian Al-Quran di Indonesia. (Bandung: Mizan, 1996). Hlm. 129.

[13] Tiar Anwar Bachtiar (ed.), Risalah Politik A. Hassan. (Garut: Pembela Islam: 2013). Hlm. 75-85.

[14] A. Hassan, Adakah Tuhan? (Bandung: Diponegoro, 1994).

[15] A. Hassan, Rahmat Ali, Abu Bakar Ayyub. Officieel Verslag Debat antara Pembela Islam dan Ahmadiyah Qadiyan. (PB. Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1986).

[16] A. Hassan, Bibel Lawan Bibel. (Bangil: LP3B, Cet-3: 1983).

[17] M. Natsir, Capita Selecta 3. (Jakarta: Penerbit Abadi dan Yayasan Capita Selecta, 2008).

[18] M. Natsir, Fiqhud Da’wah. (Solo: Ramadhani, 1989).

[19] M. Iqbal dan M. Natsir, Dapatkah dipisahkan Politik dari Agama? (Jakarta: Mutiara).

[20] Khairuddin az-Zirikli, al-A’lam. (Lebanon: Dar ‘Ilm lil Malayin, 2002). II: 184.

[21] George A. Makdisi, Cita Humanisme Islam. (Jakarta: Serambi, 2005). Hlm. 93-101.