Muhamad Ridwan Nurrohman
(tulisan ini telah dimuat di buku Persis di Era Millenium Kedua)
“Meninggalkan buku,
adalah meninggalkan akar peradaban”
A.
PENDAHULUAN
Waktu
satu abad, bukanlah waktu yang sebentar. Secara hakiki, maupun secara majazi.
Siapapun yang mampu bertahan selama itu, maka hampir dapat dipastikan ia
memiliki kelebihan. Jika manusia, ia tentu memiliki “kelebihan” jatah usia yang
cukup banyak. Di sisi lain, orang-orang biasa memahami, bahwa manusia itu punya
kesehatan dan pola hidup yang baik, sehingga “panjang umurnya”. Begitu pula
sebuah organisasi, jika ia mampu bertahan hingga waktu satu abad, tentu ia
memiliki kelebihan dibandingkan selainnya, yang bahkan tidak mampu bertahan
selama itu. Berbicara rekam jejak atau dalam istilah orang Sunda; tatapakan,
tentu ia juga akan memiliki banyak kisah untuk diceritakan. Meski mungkin tak
banyak orang yang mencatat dan mendengar kisah-kisah itu. Begitu pula Ormas
Islam yang dinamakan Persatuan Islam (Persis). Sejak kehadirannya pada tahun 12
September 1923, kini terhitung 3 tahun lagi saja hingga ia berumur tepat satu
abad, mendekati “kakak seperjuangannya” yaitu Muhammadiyah.
Bicara
soalan waktu yang telah dilaluinya, tentu bekas-bekas tatapakan itu
pasti ada, bukan urusan kecil, besar, banyak ataupun sedikit. Tapi sekali lagi,
adakah yang mencatat, menghimpun, memperdengarkan, juga seberapa jauh jangkauan
dari semua kisah itu dapat didengar oleh masyarakat umum sebagai syi’ar,
ataupun oleh para generasi penerusnya sebagai kaderisasi. Karena sebagaimana
ucapan M. Natsir, dengan menuliskan rekam jejak itu, “kita tidak bermaksud
menonjolkan jasa, tapi tidak rela sejarah dihilangkan”. Dalam hal ini, seirama betul dengan akronim yang dewasa ini
dikenal sebagai jargon Presiden RI Pertama, Soekarno, yaitu Jasmerah; Jangan
sekali-kali meninggalkan sejarah. Namun bagaimana mungkin kita peduli pada
sejarah dan bekas-bekas tatapakan perjuangan Islam, khususnya Persatuan
Islam, jika menemukan catatannya saja begitu seulit. Hingga untuk menemukan
ungkapan Natsir di atas saja, penulis cukup kesulitan dari sekedar mencari
sumber sekunder apalagi sumber aslinya. Maka peduli terhadap sejarah, berarti juga
kita mesti membuka akses informasi menuju sumber-sumber itu, baik melalui akses
fisik maupun digital. Bagaimana mungkin kita akan memiliki kebanggaan terhadap
rumah perjuangan ini, jika mengenalnya saja kita tak yakin. Bagaimana mungkin
kita rela memperjuangkan, jika rasa memiliki saja kita tak punya. Lalu
bagaimana mungkin kita meyakini dengan benar jalan yang tengah kita tempuh,
jika ilmu dan informasi tentangnya saja kita tak tahu. Mana mungkin dapat
melanjutkan, jika kita tak tahu apa saja yang pernah diperjuangkan? Sayangnya,
semua informasi itu tidak mudah untuk dijumpai. Beruntunglah mereka yang sempat
bersua para senior perjuangan yang sudi berbagi cerita tentang riwayat
perjuangannya. Namun jika itu semua tak tercatat, bukankah ingatan kita kadang
begitu rapuh, hingga kadang lupa hari, apalagi serentetan informasi. Bukankah
ilmu itu binatang buruan, sedangkan menulis adalah tali kekangnya? Maka
menghadirkan wajah literasi yang baik, adalah suatu tanggung jawab bersama,
bagi siapapun yang menghendaki rumah ini senantiasa terjaga dan nyaman untuk
dihuni. Atau akankah kita biarkan saja semua tatapakan sepanjang
hampir satu abad ini hilang tanpa jejak? Atau kita hapus saja semua amal usaha
kebaikan yang pernah dihadirkan para pendahulu kita, dengan ketidak-pedulian?
B.
PEMBAHASAN
1.
LITERASI DAN PERADABAN ISLAM
Dalam
sejarah peradaban dunia, Islam pernah hadir sebagai sebuah peradaban raksasa
yang memengaruhi hampir seluruh penjuru dunia. Berbagai gerakan dan pendekatan
dilakukan demi menyebarkan kalimatullah di alam semesta ini. Perwujudan
nyata, dari sebuah amanah luar biasa besar, khalifatullah fil ardh. Berbagai
lini kehidupan, bidang keilmuan, dan seluruh lapisan masyarakat pernah disentuh
dan ia berikan sibgoh; pernah ia warnai. Hasil yang ditunjukan, bahkan
kita nikmati hari ini; segala kemudahan, kecepatan, ketepatan, ketenangan,
berawal dari semua upaya orang-orang terdahulu kita. Islam, sangat menghargai
semua usaha manusia, hingga Rasulullah Saw bersabda,
«مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ
سُنَّةً حَسَنَةً، فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ
عَمِلَ بِهَا، وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِي
الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً، فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ
وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا، وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ»
“Barangsiapa yang memulai
mengerjakan perbuatan baik dalam Islam, maka dia akan memperoleh pahalanya dan
pahala orang yang mencontoh perbuatan itu, tanpa mengurangi pahala mereka
sedikitpun. Dan barangsiapa yang memulai kebiasaan buruk, maka dia akan
mendapatkan dosanya, dan dosa orang yang mengikutinya dengan tanpa mengurangi
dosa mereka sedikit pun.”
(HR. Muslim, no. 1017)
Dalam
litelatur sejarah, kita bahkan mengenal istilah assabiqun al-awwalun, sebuah
ungkapan yang Allah Swt. sebutkan dalam firman-Nya:
«وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ
الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا
الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ»
“Dan
orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara
orang-orang Muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan
baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah. Allah
menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.
Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang agung.” (QS. At-Taubah:100)
Dua
landasan tersebut, cukup menjadi pijakan awal, betapa pentingnya kita
menghargai jejak para pendahulu kita, apalagi mereka adalah orang-orang shalih
yang pernah berjuang keras untuk ummat. Selain itu, ini juga menjadi sebuah
pesan, betapa pentingnya kita meninggalkan “sesuatu” warisan untuk para penerus
kita di esok hari. Sebuah warisan terbesar yang bisa ditinggalkan oleh manusia,
sebagaimana warisan para Nabi; ilmu. Seperti dijelaskan dalam potongan hadis
berikut ini:
«إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ، إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ
يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا، إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ، فَمَنْ
أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ»
“Sesungguhnya
Ulama adalah pewaris para Nabi, dan sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan
dinar dan dirham, mereka hanya mewariskan ilmu, maka siapa yang mengambilnya
berarti ia telah mengambil bagian yang banyak.” (HR. At-Tirmidzi, no. 2606)
Lalu
apalagi media ilmu yang paling mudah diberikan selain “literasi”; pendidikan
dan buku. Itulah salah satu rahasia mengapa para Ulama dahulu begitu getol
menuliskan ribuan karya, dalam berbagai fan ilmu juga dengan beragam model dan
pendekatan. Mari kita lihat cuplikan bagaimana literasi menjadi nadi peradaban yang
pernah hadir menjadi rahmatan lil ‘alamin.
Melalui
wahyu pertama, Allah Swt. memberikan satu tugas yang dirasa amat berat oleh
Nabi Muhammad Saw. saat itu. Bagaimana tidak, ia lahir di tengah masyarakat
yang bukan masyarakat literat. Mereka para penghafal yang baik, namun dalam
dunia tulis-menulis, tradisi mereka tidak begitu kuat. Itulah mengapa dalam beberapa potongan Sirah Nabawiyah,
Rasulullah Saw memberikan satu opsi pemerdekaan diri bagi seorang tawanan
perang adalah dengan cara mereka mengajarkan baca-tulis kepada ummat Islam. Dalam bahasa Ahmad Amin, masyarakat Arab Jahiliyah adalah
orang-orang yang lisan (bahasa) mereka lebih cerdas daripada akalnya
(rasionalitas). Maka tidak mengherankan, banyak peneliti yang akhirnya menyebut
masyarakat Arab sebagai masyarakat dengan oral tradition, tapi buta
huruf, atau dalam istilah yang lebih populer dalam literatur sejarah, masyarakat
ummi. Sebagaimana dinyatakan dengan jelas oleh Allah Swt melalui
firman-Nya:
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ
رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ
الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
“Dialah, Allah, yang
mengutus seorang Rasul kepada kaum yang buta huruf dari kalangan mereka
sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan jiwa mereka
dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah, meskipun sebelumnya, mereka
benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Al-Jumu’ah: 2)
Sebuah
perintah yang sangat bersifat literatif ini adalah sebuah dasar pemikiran yang
betul-betul perlu dipikirkan ulang oleh setiap yang mengaku dirinya sebagai
muslim. Jika dalam masyarakat ummi seperti itu saja Allah mewajibkan
perintah membaca; dalam makna yang tentu saja sangat luas. Maka bagaimana
kewajiban itu jika dijatuhkan kepada kita yang hidup di dunia kontemporer macam
sekarang, yang telah banyak menerima limpahan warisan literasi yang tak
tertandingi dalam sejarah agama manapun. Bukankah kewajiban itu menjadi semakin
berlipat?
Sikap
dan pendekatan Rasulullah Saw, yang dikatakan seorang yang ummi terhadap
melek aksara itu sendiri juga mesti membuat kita sadar akan betapa pentingnya
hal tersebut. Orang-orang inilah yang pada masa berikutnya menjadi penjaga
gawang keaslian al-Quran dan Sunnah-sunnahnya. Coba kita tengok bagaimana sikap
Abu Bakar as-Shiddiq, selepas wafatnya para sahabat penghafal al-Quran dalam
perang Yamamah. Beliau memberanikan diri untuk menghimpun dan menuliskan mushaf
al-Quran, walaupun ada keraguan dalam dirinya, ia takut menyelesihi Rasulullah
Saw, melakukan perbuatan bid’ah dalam agama. Ini mesti menjadi satu sinyal yang besar maknanya bagi kita hari
ini, yang abai menuliskan ilmu, dan membiarkan ia terbawa mati dengan wafatnya
para Ulama. Saking pentingnya hal itu, Imam al-Bukhari sampai mencatat bab
khusus dalam kitab shahih-nya, bab Kitabat al-‘Ilm.
Meskipun
hal ini memang menyisakan perdebatan di kalangan para Ulama berikutnya.
Khususnya dalam masalah penulisan hadis, bukan tanpa alasan tentu saja. Hadirnya
riwayat larangan Rasulullah Saw untuk menuliskan hadis sempat tersiar di
kalangan para sahabat awal, bahkan memengaruhi sikap sebagian ulama tabi’in
seperti Ibnu Sirin (w. 110 H), Ayyub
as-Sakhtiyani (w. 132 H), dan Ibn ‘Aun (w. 151 H); yang berprinsip untuk tidak
menulis hadis. Beruntungnya, mereka adalah Ulama yang memiliki kekuatan hafalan
yang luar biasa, dan memiliki jaringan murid yang juga sangat besar. Sehingga
ilmu mereka tidak hilang begitu saja. Namun mesti dipahami juga, bahwa
pemahaman ini tidak menjadi satu-satunya madzhab resmi kaum muslimin saat itu.
Tengok misalnya Khatib al-Baghdadi yang menuliskan kitab khusus tentang ini, Taqyid
al-‘Ilm, selain sikap Imam al-Bukhari yang sudah penulis sebutkan
sebelumnya. Seiring berjalannya waktu, dan semakin tersebar luasnya ajaran
Islam, urgensi penulisan dan pemilahan validitas sumber ajaran Islam ini
semakin jelas di pandangan para Ulama, hingga dimunculkanlah berbagai fan ilmu dalam Islam, dari mulai
tafsir, kritik hadis, dan berbagai ilmu penopang lainnya; sebagai upaya menjaga
keaslian agama Islam.
Penulisan
sumber ajaran ini, hanya satu pondasi awal dari kegiatan literasi peradaban
Islam. Selebihnya dari itu, kegiatan literasi ini juga merambah dunia
penerjemahan berbagai buku dari peradaban bangsa dan bahasa lain, seperti
Yunani, Suryani, Mesir, Persia, India, Romawi, dan lainnya. Ini juga merupakan
satu dari sekian banyak nadi seluruh peradaban dunia, sejak dulu hingga kini. Setelah itu, upaya penyusunan karya ilmiah berupa inovasi,
penelitian, dan uji coba juga dilakukan dengan sangat serius. Penyusunan
buku-buku katalog karya ilmiah, lalu pengklasifikasian berbagai karya ilmiah
pun menjadi pintu pembuka bagi berbagai penelitian orang-orang yang datang dari
masa berikutnya. Belum lagi karya-karya kritik yang dihadirkan, perdebatan yang
dibukukan, berbagai perbedaan pandangan yang ilmiah, hingga munculnya berbagai
madzhab pemikiran, semua itu adalah hal-hal yang memperkaya dunia literasi
Islam sepanjang sejarah. Maka hal apa lagi yang perlu kita dustakan dari
pentingnya literasi bagi peradaban dunia ini?
2.
LITERASI DAN GENERASI PERSIS AWAL
Sekarang, mari kita beranjak untuk menengok gerakan Persis awal. Sejak
awal kehadirannya, Persis adalah sebuah gerakan intelektual. Sebagaimana
diungkapkan oleh Howard M. Federspiel, Persis lahir dari sebuah diskusi ilmiah,
yang sering mengupas dan mendiskusikan sebuah produk literasi yang paling
berpengaruh pada masanya, majalah al-Manar, sebuah majalah yang
diterbitkan oleh Muslim modernis di Kairo. Mungkin, terinspirasi dari itu pula lah, akhirnya Persis besar
melalui percaturan isu, gagasan dan pemikiran; yang pada masa berikutnya,
disebar-luaskan melalui berbagai media cetaknya. Sebut saja majalah Pembela
Islam, Al-Fatwa, Al-Lisan; yang pada saat itu memiliki oplah hingga ribuan
eksemplar. Belum lagi berbagai koran, risalah-risalah kecil, maupun buku-buku
besar, baik penerjemahan maupun hasil buah karya sendiri. Semua hal ini
menegaskan begitu besarnya peran dan tatapakan Persis dalam dunia
literasi pada masa itu.
Sebut saja salah satu tokohnya, Ahmad Hassan, dengan segala
kelebihan dan kekurangan, serta perdebatan yang dimunculkannya, telah mampu
hadir sebagai seorang yang terhitung generasi awal dalam penerjemahan al-Quran
ke dalam bahasa Indonesia secara lengkap. Atau dalam istilah Howard M.
Federspiel, A. Hassan hadir sebagai generasi kedua dalam upaya memahami
al-Quran dalam bahasa Indonesia, setelah generasi sebelumnya baru mampu
melakukan penafsiran atas sebagian kecil saja bagian dari keseluruhan al-Quran. Belum lagi penerjemahan beliau kepada kitab Bulughul Maram,
karya Imam Ibn Hajar, hingga di sebagian masyarakat ada yang menganggap Bulughul
Maram sebagai kitab Persis, bahkan ada juga yang salah mengira sebagai
tulisan A. Hassan sendiri. Bahkan, tidak jarang, ia menerjemahkan berbagai
pepatah dan juga syair, baik yang berasal dari bahasa Arab ataupun berbahasa
Inggris, seperti pepatah politik yang ia terjemahkan dari karangan Gurney
Champion, yang ia kompilasikan dalam buku A.B.C Politiknya. Ia juga menerjemahkan untaian syair al-Hikam karya Ibn
Athaillah sebagai sisipan majalah. Ia dengan tegap membantah
pemikiran-pemikiran Atheis dalam Adakah Tuhan?-nya. Beliau juga terdepan menjawab pemikiran Ahmadiyah Qadiyan dalam Officieel
Verslag Debat-nya. Persis dengan Pembela Islamnya pun terdepan dalam wakil Kongres
al-Islam ke 2 di Solo, Mei 1939, untuk menghadapi bahaya kristenisasi melalui
buku Bibel Lawan Bibel-nya.
Belum lagi apa yang dihimpun oleh D.P. Sati Alimin, dari
tulisan-tulisan M. Natsir, dalam Capita Selecta yang hingga saat ini
telah hadir 3 jilid besar, yang memuat buah pikiran Natsir sejak 1936-1960. Gagasan-gagasan yang dihadirkan beliau tidak melulu soal masalah
ibadah, meskipun beliau menulis pula buku Fiqih semacam Marilah Shalat,
atau yang paling fenomenal tentu saja Fiqhud Da’wah, yang dijadikan pegangan
wajib para da’i DDII, yang memuat begitu banyak mutiara khas, demi menjawab
persoalan Islam dan Indonesia, yang tentu saja sulit ditemukan dalam
kitab-kitab turats, yang ditulis oleh para Ulama yang bukan asli
Indonesia. Ia juga menerjemahkan, bahkan menjabarkan pemikiran Sir M. Iqbal,
seorang tokoh pemikir besar asal Pakistan, dalam bukunya Dapatkah dipisahkan
Politik dari Agama? Dalam buku tersebut, beliau dengan sangat lugas
membabar puisi M. Iqbal, Shikwa dan Jawabi-Shikwa; “Pengaduan dan
Jawabannya”. Beliau juga tidak gagap menjawab persoalan Filsafat, Budaya bahkan
Sastra sekalipun. Persis dengan kesiapan literasinya, mampu menjadi solusi dari
sekian banyak masalah yang dihadapi ummat Islam pada masanya. Tak sekedar
persoalan ibadah, sekali lagi. Ia juga mampu menjawab tantangan Pemikiran
Islam, Aqidah, Muamalah, Filsafat, Sastra, Budaya, Akhlak, bahkan politik
praktis sekalipun. Ia tidak menjadi objek, apalagi objek penderita. Tapi mampu
menjadi subjek aktif yang mewarnai percaturan pemikiran Islam di Indonesia
khususnya. Khairuddin az-Zirikli (w. 1396 H) seorang Ulama asal Damaskus, dalam
kitab al-A’lam-nya memuat biografi singkat A. Hassan dengan nama
menamakannya حَسَن بانْدُونْج
. Az-Zirikli menyatakan,
penerbitan majalah Pembela Islam, ternyata di cetak dalam tiga bahasa,
Indonesia, Arab dan juga Inggris. Dan di dalamnya, memuat pemikiran yang kokoh
dari A. Hassan, baik dalam bidang Fikih, Hadis, Tauhid bahkan Politik, dan
dilirik bahkan oleh dunia Internasional pada saat itu. Sekian contoh sederhana ini akhirnya mesti membawa kita untuk
bercermin pada kondisi literasi kita saat ini. Lebih baik kah? Melemah? Atau
justru telah bisa kita katakan hilang sama sekali?
3.
LITERASI DAN KONDISI PERSIS HARI INI
Untuk bertanya kabar tentang hal tersebut, penulis menyebarkan kuesioner online,
selain dari beberapa pengalaman yang penulis sendiri temukan, rasakan dan
dengar dari berbagai responden yang berasal dari beberapa Pimpinan Wilayah,
khususnya di luar Jawa, terkait kondisi literasi Persis ini. Bahkan jika
ditelisik lebih jauh ke berbagai perpustakaan yang ada di Pesantren dan
Pimpinan Daerah hingga Jama’ah, data-data yang ditemukan sayangnya cukup
memilukan. Hingga di tingkat kampus sekalipun, standarisasi yang dimiliki
nampaknya belum maksimal. Padahal, ketersediaan pustaka, adalah satu modal
berharga baik dalam aspek ilmiah, dakwah, kaderisasi dan bahkan doktrinasi;
lebih jauh lagi, tentu saja peradaban.
Misalnya, bisa kita lihat dari rincian katalog Perpustakaan PP.
Persis di bawah ini:
DATA
PERPUSTAKAAN
PIMPINAN
PUSAT PERSATUAN ISLAM
Profil
Perpustakaan
|
Perpustakaan Pimpinan Pusat Persatuan
Islam didirikan pada tahun 2001 di masa kepemimpinan Drs. KH. Shiddiq Amien,
MBA dengan maksud untuk mendokumentasikan serta memudahkan banyak kalangan
untuk mengakses berbagai kepustakaan terkait Persis baik buku-buku,
dokumentasi, maupun arsip-arsip lainnya untuk kepentingan pengkajian dan
penelitian terkait Persis itu sendiri. Saat ini perpustakaan tersebut
memiliki koleksi sebanyak kurang lebih 400 koleksi yang terdiri dari buku,
foto dokumentasi, kaset, serta buku-buku. Saat ini perpustakaan tersebut
dikelola oleh dua staf PP Persis yakni H. Oim Abdurrohim dan Ust. Farid
Helmi. Perpustakaan tersebut beralamatkan di Jln. Perintis Kemerdekaan No
2-4, Bandung, 40117 dengan no kontak (022) 4220704 atau melalui fax dengan no
kontak (022) 4220702.
|
Data
Koleksi Perpustakaan
|
2 x 0 :
2 x 1 : 78
2 x 2 : 15
2 x 3 : 3
2 x 4 : 3
2 x 5 : 27
2 x 6 : 300
2 x 7 :
2 x 8 :
2 x 9 :
|
Sarana
dan Prasarana Perpustakaan
|
1.
Ruang baca
2.
Lemari buku
3.
Komputer
|
SDM
Perpustakaan
|
1.
H. Oim Abdurohim
2.
Farid Helmi
|
Ini adalah data yang dihimpun oleh Aldy Istanzia Wiguna, sebagai
bekal yang ia bawa dalam acara yang diadakan Kemenag Pusat, terkait pemantauan
kondisi literasi ormas islam. Untuk tidak mengecilkan peran, perbandingan angka
yang hadir dari data ini, dibandingkan dengan angka yang hadir dari ormas
lainnya seperti Muhammadiyah dan NU, tentu bukan hal yang menyenangkan untuk
diungkapkan di sini. Berbicara secara fisik dan struktur pertanggung-jawaban
pun, Persis masih menjadikan Perpustakaan di bawah naungan Sekretaris Umum,
lain dengan dahulu yang memiliki Bahagian Pustaka, yang khusus membawahi
pengurusan Perpustakaan. Belum lagi jika yang kita bahas adalah isi dari
koleksi-koleksi tersebut.
Khazanah literasi Persis ini sebenarnya bukan tiada, hanya saja
keberadaannya yang kini sulit untuk dilacak. Bagaimana tidak, Howard M.
Federspiel saat menyusun Disertasinya yang kini diterbitkan menjadi buku Labirin
Ideologi Muslim, ia akui mendapatkan semua data-data itu di Perpustakaan
Pesantren Persatuan Islam 1-2, di Pajagalan. Namun hari ini, selepas
dipindahkan ke Viaduct, begitu banyak sumber yang dirujuk Howard M. Federspiel
dalam bukunya itu, tidak lagi ditemukan di Perpustakaan Persatuan Islam kini.
Setelah penulis berasumsi bahwa ini adalah koleksi yang berbeda dengan yang
pernah ditemui Federspiel di Pajagalan, namun faktanya, setelah penulis
mengkonfirmasi ke Perpustakaan PPI Pajagalan sendiri, koleksi-koleksi itu memang
sudah tidak dapat ditemui di sana. Lalu perlukah Perpustakaan Persis melengkapi
kembali seluruh dokumen tersebut, 99% responden, menjawab YA! Untuk apa? Tentu
saja menghadirkan data yang cukup, sebagaimana cita-cita awal pendirian dari
Perpustakaan PP. Persis itu sendiri; mendokumentasikan
serta memudahkan banyak kalangan untuk mengakses berbagai kepustakaan terkait
Persis baik buku-buku, dokumentasi, maupun arsip-arsip lainnya untuk
kepentingan pengkajian dan penelitian terkait Persis itu sendiri.
Lebih jauh lagi jika kita bicara soal ketersediaan
akses bagi orang-orang yang berasal dari Pimpinan Wilayah di luar Jawa Barat.
Seperti di Sulawesi Selatan misalnya, tempat penulis dahulu melaksanakan
pengabdian. Bahkan akses ilmu berupa buku umum pun begitu sulit untuk
didapatkan, apalagi buku terkait Persis. Meski masih ada satu hal yang wajib
disyukuri, karena di sana penulis masih menemukan bahan ajar Diniyah yang
ditulis oleh E. Abdullah, sebagai ciri khas pengajaran Diniyah Persis. Belum
lagi wilayah lain, semacam Riau, Ambon, Kalimantan, atau bahkan Yogyakarta
sekalipun, selain Bangil tentu saja. Bahkan yang masih berada di wilayah Jawa
Barat pun, masih banyak kader yang kesulitan mendapatkan akses informasi
terkait Persis ini. Mereka (62%) biasa mendapatkan informasi terkait Persis,
melalui media Whatsapp. Majalah Risalah, sebagai salah satu, untuk tidak
menyatakan satu-satunya Majalah Persis yang masih bertahan pun, sulit
mendapatkan perhatian di wilayah-wilayah bahkan daerah di Jawa Barat sekalipun.
Prosentase buku-buku Persis dan terkait Persis yang bisa mereka akses berada
pada kisaran 89% adalah kurang dari 50 buku saja, dan 58% nya hanya bisa
menemui 5-20 buku saja. Dan 11% saja yang berhasil menemui lebih dari 50 buku.
Itu pun penulis tidak memisahkan buku karya pendahulu Persis dan para Asatidz
Persis yang masih aktif menulis hingga hari ini seperti A. Zakaria, yang jelas
bisa mewakili banyak sekali jumlah buku yang dapat ditemui tersebut.
Hal ini tentu saja bukan sebuah usaha yang mesti
dibebankan kepada Pimpinan Pusat saja. Karena pada faktanya, begitu banyak buah
karya dan juga beragam sumber rujukan para tokoh Persis di masa sebelumnya,
yang masih tersimpan rapi di pihak keluarga. Sebut saja koleksi karya Ust.
Syarief Sukandy, yang sempat langsung penulis temui beberapa waktu ke belakang.
Meskipun ada juga yang koleksi-koleksi itu telah raib, dijual ke tukang loak.
C.
PENUTUP
Dengan
segala kelebihan dan kekurangannya, itulah kondisi rumah kita. Sebagai penutup,
izinkan penulis menyampaikan terima kasih sedalam-dalamnya, kepada seluruh
responden yang telah sudi menyampaikan ide dan gagasannya kepada penulis.
Sebuah kaca sederhana, yang tentu saja mesti dilirik, untuk masa depan Persis
yang lebih baik. Begitu banyak hal yang belum kita lakukan dengan serius, yang
bahkan hanya dengan memulainya, dari hal yang terkecil sekalipun, akan membawa
perubahan besar bagi pergerakan rumah kita bersama ini. Tidak ada pelaut hebat
yang lahir dari gelombang yang tenang. Semua masalah ini, hadir untuk menuntut
jawab dan aksi kita bersama. Seperti disebutkan sebelumnya, perkara literasi
ini bukan masalah yang harus ditanggung Pimpinan Pusat saja. Perlu kerjasama
yang baik, dari setiap elemen yang ingin menghadirkan kembali wajah Persis
dalam dunia literasi, atau bahkan dalam kancah nasional sekalipun. Gerakan
Persis yang dahulu membawa Federspiel jauh-jauh dari Australia ke Pajagalan,
adalah jelas sebuah gerakan solutif, yang mampu menjawab banyak kebutuhan
ummat. Apalagi menengok tulisan az-Zirikli dalam al-A’lam-nya di atas.
Mestilah menjadi pemacu untuk kita, generasi Persis hari ini. Akankah Persis
siap menjadi mujaddid lagi?
Menghadirkan
Perpustakaan yang lengkap, apalagi melakukan digitalisasi dan penerbitan ulang
karya-karya para pendahulu Persis, setidaknya akan menjadi benang merah yang
tegas dan jelas bagi siapapun yang ingin menjadi penerus perjuangan rumah kita
ini. Kolaborasi, kerjasama dengan para keluarga asatidz, maupun dengan berbagai
lembaga seperti Pusat Dokumentasi Islam Indonesia Tamadun, Kemenag dan
Perpustakaan Nasional, menurut penulis adalah langkah paling rasional untuk
melengkapi puzzle tentang jejak perjuangan para pendahulu kita, untuk kita
hadirkan beragam karya “inovasi” dari para anak mudanya, tanpa kehilangan
jati-diri pergerakan Persatuan Islamnya tentu saja. Sebuah langkah yang perlu
kita mulai, bukan dengan caci-maki ataupun menunjuk salah kepada selain kita,
namun mesti kita kawal dengan semua usaha yang bisa dilakukan, untuk
menghadirkan #ReformasiLiterasiPersis jelang Muktamar Persis ke-16 yang
sudah di depan mata ini. Wallahu a’lam bi shawwab.
DAFTAR PUSTAKA
A. Hassan, Rahmat Ali, Abu Bakar Ayyub. 1986. Officieel Verslag
Debat antara Pembela Islam dan Ahmadiyah Qadiyan. PB. Jemaat Ahmadiyah
Indonesia.
A. Hassan. 1994. Adakah Tuhan? Bandung: Diponegoro.
A. Hassan. 1983. Bibel Lawan Bibel. Bangil: LP3B.
A. Syalabi. 2003. Sejarah dan Kebudayaan Islam 1. Jakarta:
PAB.
Ali, Jawwad. 2018. Sejarah Arab Sebelum Islam. Jakarta:
Alvabet.
Bachtiar (ed.), Tiar Anwar. 2013. Risalah Politik A. Hassan.
Garut: Pembela Islam.
Basya, Ahmad Fuad. 2015. Sumbangan Keilmuan Islam pada Dunia.
Jakarta: Pustaka al-Kautsar.
Chalil, Moenawar. 2001. Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad 2.
Jakarta: GIP.
Cook, Michael. 2012. Oposisi Penulisan Hadis di Masa Islam Awal.
Bandung: Marja.
Daftary (ed.), Farhad. 2002. Tradisi-tradisi Intelektual Islam.
Jakarta: Erlangga.
Djaja, Tamar. Riwayat Hidup A. Hassan. Jakarta: Mutiara.
Federspiel, Howard M. 1996. Kajian Al-Quran di Indonesia.
Bandung: Mizan.
__________________. 2004. Labirin Ideologi Muslim. Jakarta:
Serambi.
M. Natsir, dan M. Iqbal. Dapatkah dipisahkan Politik dari Agama?
Jakarta: Mutiara.
M. Natsir, dkk. Bahaya Takut. Serial Media Dakwah Edisi
ke-20.
M. Natsir. 1989. Fiqhud Da’wah. Solo: Ramadhani.
M. Natsir. 2008. Capita Selecta 3. Jakarta: Penerbit Abadi
dan Yayasan Capita Selecta.
Makdisi, George A. 2005. Cita Humanisme Islam. Jakarta:
Serambi.
Nasar, M. Fuad. Islam dan Muslim di Negara Pancasila.
Yogyakarta: Gre Publishing.
Syahin, Abdul Shabur. 2006. Saat al-Quran Butuh Pembelaan.
Jakarta: Erlangga.
Zirikli, Khairuddin az-. 2002. al-A’lam. Lebanon: Dar ‘Ilm
lil Malayin.