Sabtu, 15 Oktober 2022

A Hassan : Ulama Umat, Teladan Seluruh*

 

 

Aldy Istanzia Wiguna**

Ahmad Hassan lahir di Singapura pada tahun 1887 dan wafat di Surabaya pada tanggal 10 November 1958. Sebagai seorang tokoh pembaharu, Ahmad Hassan mendapat didikan awal dari ayahnya yang bernama Sinna Vappu Maricar, seorang penulis yang cukup ahli dalam bidang agama Islam dan kesusastraan Tamil. Ia diajarkan ayahnya mulai dari tata bahasa Tamil  dan ilmu-ilmu keagamaan lainnya. Masa kecil Ahmad Hassan dilewati di Singapura. Pendidikannya bermula di sekolah dasar, tetapi Ahmad Hassan tidak sempat menyelesaikannya. Kemudian ia masuk sekolah Melayu dan menyelesaikannya hingga kelas empat dan belajar di sekolah dasar pemerintah Ingris sampai tingkat yang sama, sambil belajar bahasa Tamil dari ayahnya. Di sekolah Melayu itulah, Ahmad Hassan belajar bahasa Arab, Melayu, Tamil dan Inggris. Pada usia tujuh tahun, sebagaimana anak-anak pada umumnya, ia belajar Al-Qur’an dan memperdalam agama Islam.

Pada usia 12 tahun, A. Hassan mulai bekerja. Sembari mencari nafkah, ia menyempatkan diri belajar privat dan berusaha menguasai bahasa Arab sebagai kunci untuk memperdalam pengetahuan tentang Islam. Dia belajar di toko milik iparnya, Sulaiman sambil terus belajar mengeja pada Muhammad Thaib, seorang guru yang terkenal di Minto Road. Pelajaran yang diterimanya saat itu sama saja dengan apa yang diterima anak-anak lain seperti tata cara shalat, wudhu, shaum dan lain-lain.

Selain kepada Muhammad Thaib, tercatat beberapa nama sempat menjadi gurunya seperti Abdul Lathif, sang paman juga Syekh Hassan dan Syeikh Ibrahim, seorang ulama yang berasal dari India. Beliau mempelajari dan memperdalam Islam dari beberapa guru tersebut sampai kira-kira tahun 1910, menjelang ia berusia 23 tahun. Beberapa pekerjaan pernah digelutinya seperti menjadi agen es batu, tukang vulkanisir mobil sampai menjadi penulis tidak tetap di beberapa majalah hingga diangkat menjadi salah satu anggota redaksi di surat kabar Utusan Melayu.

Menjadi Penulis di Utusan Melayu

Di sekitar tahun 1912-1913, ia menjadi salah satu anggota redaksi surat kabar Utusan Melayu yang diterbitkan oleh Singapore Press di bawah pimpinan Inche Hamid dan Sa’dullah Khan. Di surat kabar ini, untuk pertama kalinya Ahmad Hassan menulis artikel tentang Islam yang bersifat nasihat, anjuran berbuat baik dan meninggalkan kejahatan dalam bentuk syair. Masalah akidah dan ibadah juga tidak luput dari sorotannya. Terkadang tulisannya berupa kritikan terhadap hal-hal yang dianggapnya tidak sesuai dengan ajaran Islam. Bahkan, dalam salah satu tulisannya, ia pernah mengecam qadli yang dalam memeriksa suatu perkara mengumpulkan tempat duduk pria dan wanita dalam satu ruangan.

Menarik bila disimak, perjalanan menulis Ahmad Hassan dalam koran atau surat kabar Utusan Melayu ini. Lazimnya, sebuah tulisan dalam koran yang biasanya berisi artikel keagamaan. Ahmad Hassan justru menuliskannya dalam bentuk syair atau puisi lama yang berbentuk bait sebanyak empat baris dalam satu baitnya. Tulisan-tulisan Ahmad Hassan yang berbentuk syair ini ternyata banyak diminati hingga pada satu kesempatan redaktur surat kabar tersebut memberinya rubrik tanya-jawab seputar keagamaan sebelum nantinya berpindah ke dalam majalah Pembela Islam yang dikelolanya kelak bersama murid-muridnya seperti Mohammad Natsir dan Isa Anshary ketika dirinya bergabung dengan Persis di tahun 1926.

Tradisi Literasi dan Intelektualitas A. Hassan

Pada tahun 1926, ketika Ahmad Hassan memutuskan untuk belajar tenun di Bandung dan mendirikan pabrik tenun di daerah Majalaya. Ia sempat belajar dan ikut pengajian dalam sebuah perkumpulan yang didirikan oleh dua saudagar dagang dari Palembang bernama Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus di tahun 1923. Nama dari perkumpulan itu adalah Persatuan Islam (Persis). Organisasi atau perkumpulan tersebut biasanya mengadakan kenduri atau pengajian-pengajian kecil yang diadakan di sebuah mesjid yang terletak di Jalan Pangeran Sumedang (kini Otto Iskandardinata). Mulanya, Ahmad Hassan tertarik dengan pembahasan-pembahasan yang dikaji dalam pengajian itu. Salah satu tema yang biasa dikaji dalam perkumpulan itu adalah hal-hal yang berkaitan dengan bid’ah, khurafat, dan takhayul. Seiring waktu berjalan, Ahmad Hassan justru diminta untuk memberikan pengajaran atau corak berbeda dalam setiap pengajian dan kenduri yang diadakan sampai akhirnya ia didaku menjadi guru dari perkumpulan yang organisasi awalnya berjumlah 20 orang.

Pada masanya, organisasi Persatuan Islam dikenal galak dan tegas. Tercatat beberapa perdebatan sengit pernah digelar organisasi masa itu dengan Ahmad Hassan sebagai pembicaranya. Perdebatan-perdebatan itu tidak hanya terjadi di muka umum saja melainkan dalam surat-surat kabar yang dikelola Persatuan Islam. Salah satu perdebatan yang paling terkenal pada masa itu adalah perdebatan Persis dengan Ahmadiyah yang dilakukan di Batavia dan Bandung dengan lawan debat diantaranya Abu Bakar  Ayyub, Abdurrazak dan Rahmat Ali sebagai utusan Ahmadiyyah dari Qadiyan. Sedangkan perdebatan-perdebatannya yang melalui media massa antara lain dengan Prof. Schoumaker dan dengan golongan Kristen Seven Advent di majalah Pembela Islam.

Pribadi Ahmad Hassan yang literat ternyata turut ditularkan kepada beberapa muridnya seperti Isa Anshary, Mohammad Natsir dan Endang Abdurrahman. Ketiga muridnya ini biasa dilibatkan bilamana Ahmad Hassan hendak berdebat atau menulis satu dua artikel. Biasanya, bilamana ia hendak berdebat yang biasanya dilibatkan untuk turut serta menyeleksi kitab-kitab referensi yang akan digunakannya berdebat adalah Endang Abdurrahman. Sementara, Isa Anshary dan Mohammad Natsir mendapat tugas untuk menjadi editor atas tulisan-tulisan Ahmad Hassan yang hendak diterbitkan atau dipublikasikan di majalah-majalah yang dikelola Persatuan Islam saat itu semisal Pembela Islam, Aliran Islam dan Al-Lisan.

Selain itu, Ahmad Hassan juga terbiasa menerbitkan tulisan-tulisannya secara mandiri. Hal itu dilakukan dengan prinsip berdiri di atas kaki sendiri. Tercatat sampai akhir hayatnya Ahmad Hassan telah menulis sebanyak kurang lebih 83 judul buku yang terdiri dari persoalan-persoalan ibadah, akhlak, politik sampai buku-buku kesusastraan yang ditulis Ahmad Hassan dalam enam jilid diantaranya Syair yang ditulis sebanyak dua jilid dan Tertawa yang ditulis sebanyak empat jilid. Ini membuktikan bahwa ulama-ulama Persis pada masa itu termasuk ulama yang multi disiplin ilmu. Hal ini bisa dilihat dari beragamnya tulisan Ahmad Hassan juga murid-murid beliau semisal Mohammad Natsir dan Isa Anshary.

Bila ditelisik lebih jauh tentang aktivitas literasi Ahmad Hassan, kita akan menemukan sejumlah fakta terkait pengaruh orang-orang di sekitar yang mempengaruhi pemikiran-pemikiran, intelektualitas serta literasi Ahmad Hassan. Dalam bukunya yang berjudul Hassan Bandung, Pemikir Islam Radikal, Ahmad Syafiq Mughni menjelaskan setidaknya ada tiga faktor yang mempengaruhi pemikiran Ahmad Hassan diantaranya adalah : (1) pengaruh keturunan, (2) pengaruh bacaan, (3) pengaruh pergaulan.

Pertama, bila dilihat dari pengaruh keturunan, Ahmad Hassan tercatat pernah belajar saat di Singapura kepada empat guru dari India yang kesemua gurunya itu memiliki pemahaman Wahabi (sebuah gerakan pemurnian Islam yang diinisasi oleh Muhammad bin Abdul Wahab). Keempat gurunya itu adalah Thalib Rajab Ali, Abdurrahman, Jaelani dan Ahmad, ayah Ahmad Hassan sendiri. Keempat orang itu terkenal dengan faham Wahabinya dikarenakan sangat menentang dan tidak mau membenarkan adanya talqin, ushalli, tahlilan dan lain sebagainya.

Kedua, bila dilihat dari pengaruh bacaan ada beberapa bacaan yang turut mempengaruhi pemikiran serta intelektualitas A. Hassan dalam tulisan-tulisannya yang kita kenal selama ini. Diantara buku-buku dan koran atau surat kabar yang mempengaruhi pemikiran Ahmad Hassan diantaranya adalah majalah Al-Manar, sebuah majalah terbitan Mesir yang didapatkan A. Hassan dikarenakan sang kakak ipar Abdul Ghani terbiasa berlangganan majalah tersebut, lalu ada majalah Al-Imam, sebuah majalah yang mula-mula dipimpin oleh Al-Hadi, kemudian Thahir Jalaluddin dan akhirnya oleh seseorang bernama Abbas. Saat di Surabaya, Ahmad Hassan mendapatkan buku Kafa’ah yang ditulis oleh Ahmad Surkati, seorang pembaharu Islam juga pendiri organisasi Al-Irsyad. Isi buku tersebut diantaranya berkisah tentang fatwa Ahmad Surkati yang menerangkan bahwa muslim dengan muslimah diperbolehkan menikah tanpa memandang golongan dan derajat. Selain buku Kafa’ah yang ditulis oleh Ahmad Surkati, A Hassan pun tercatat dipengaruhi juga oleh buku Bidayatul Mujtahid karangan Ibnu Rusyd pada saat ia bertamu ke rumah sahabatnya Bibi Wantee. Salah satu persoalan yang dibahas di dalam buku tersebut adalah persoalan tentang perbandingan keempat mazhab fiqih seperti mazhab Syafi’i, Hanafi, Hambali dan Maliki. Di Bandung, pemikiran Ahmad Hassan turut diwarnai oleh buku-buku seperti Zadul Ma’ad karangan Ibnul Qayyim Jauziyyah, Nailul Authar karangan Asy-Syaukani dan Al-Manar di bagian fatwanya.

Ketiga, bila dilihat dari pengaruh pergaulan di sekitarnya. Tercatat pemikiran Ahmad Hassan turut dipengaruhi oleh salah seorang gurunya yang berasal dari Mesir saat dirinya sama-sama mengajar di sekolah Assegaf. Dalam beberapa kali pertemuan Ahmad Hassan terlihat mencium tangan (taqbil) kepada seseorang yang tergolong sayyid. Pada satu perjamuan makan malam di rumah kawannya yang berasal dari Mesir, ia dicaci maki habis-habisan karena sikapnya yang terkesan merendahkan dan dianggap menghinakan diri terhadap sesama manusia. Hal tersebut mendorong dirinya untuk menulis sebuah artikel dalam majalah Utusan Melayu tentang taqbil. Tulisannya bersifat pertanyaan dengan kesimpulan ‘apakah soal tersebut tidak merendahkan sesuatu golongan diantara kaum muslimin. Pada tahun 1917, ia bersama seorang kawannya Hisyam Yunus berniat mengarang sebuah buku agama yang semata-mata beralasan Qur’an dan Sunnah. Niat ini sampai pada usaha mengadakan persiapan-persiapan tetapi setelah menelaah isi kitab Shahih Bukhari mereka bertemu beberapa hal yang bertentangan dengan mazhab Syafi’i, salah satunya tentang air musta’mal. Namun, niat ini diurungkan karena mereka berdua tidak berani menentang ajaran mazhab Syafi’i. Selain itu, waktu di Surabaya, A Hassan tercatat banyak bergaul dengan Faqih Hasyim serta tercatat menghadiri pertemuan-pertemuan Al-Irsyad di bawah bimbingan Ahmad Sorkati. Sementara itu, saat ia di Bandung, ia tercatat bergaul akrab dengan Haji Zamzam dan Muhammad Yunus dari Persatuan Islam yang kelak pada tahun 1926, Ahmad Hassan sendiri melamar menjadi anggota Persis hingga akhirnya diangkat menjadi Guru Utama Persatuan Islam.

Kesimpulan

Menarik bilamana kita menyimak sekilas perjalanan intelektual seorang Ahmad Hassan. Seseorang yang mumpuni dalam segala bidang. Seseorang yang meninggalkan banyak karya dan karsa untuk kehidupan jam’iyyah di masa yang akan datang. Tidak hanya perjalanan beliau dalam berkarya, namun juga keuletan beliau dalam menelisik banyak kitab, membaca, mempelajarinya lalu tanpa sungkan menerima kritikan dari murid-muridnya tentu menjadi satu tugas penting untuk gerak jam’iyyah ke depannya. Ahmad Hassan tidak hanya mengkaderkan murid-muridnya untuk menjadi pelanjut jihad jam’iyyah secara fisik. Namun juga mengkader daya intelektualitas murid-muridnya dengan menjadikan mereka sebagai kawan atau partner dalam menulis atau bahkan dalam berdebat semisal salah satu murid kesayangannya yakni Endang Abdurrahman. Satu pertanyaan yang kemudian layak kita hadapkan ke depan adalah, sudah siapkah kita menjadi pelanjut dari gerak intelektualitas seorang Ahmad Hassan, sebab bukankah dakwah Persis itu sudah seharusnya melahirkan pelanjut bukan pengikut. Semoga, ada satu diantara sekian banyak anggota di jam’iyyah ini yang bisa melanjutkan perjuangan intelektual seorang Ahmad Hassan.***

Daftar Bacaan :

  • Tamar Djaja, Riwayat Hidup A. Hassan, Jakarta: Penerbit Mutiara, 1980 
  • A Syafiq Mughni, Hassan Bandung Pemikir Radikal, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1980 
  • Dadan Wildan, Yang Dai Yang Politikus, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1997

 



[1] Tulisan ini pada awalnya berjudul Genealogi Literasi Ahmad Hassan dan pernah dimuat di majalah Raudhah pimpinan ustadz Amin Muchtar

[2] Penulis merupakan khadim Lembaga Studi Sastra dan Literasi Pemuda Persis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar