Minggu, 11 September 2022

PERSATUAN ISLAM : HAYAT, KIPRAH DAN SOSOK

 

kumparan


‘Ia (Persis) mencari kualitas, bukan kuantitas. Ia mencari isi, bukan jumlah. Karena itu, organisasi ini tampil sebagai salah satu sumber kebangkitan dan kesadaran baru bagi umat Islam serta menjadi kekuatan dinamika dalam menggerakkan kebangkitan umat Islam’ 

-KH Isa Anshary dalam buku Renungan Empat Puluh Tahun Persis-

Persatuan Islam atau Persis didirikan di Bandung pada tanggal 12 September 1923. Kehadiran Persatuan Islam pada masa itu dibentuk dikarenakan kesadaran dua tokoh utamanya yakni Haji Zamzam dan Haji Yunus menyaksikan perilaku keagamaan kaum muslimin di Indonesia yang masih berbalut jumud, taklid, serta praktik bid’ah, khurafat dan takhayul. Dengan mengusung gagasan tentang ruju ilal Qur’an was Sunnah atau kembali kepada Qur’an dan Sunnah keduanya lantas menggelar kajian-kajian keislaman di rumahnya dalam bentuk study club. Berawal dari jamaah shalat Jum’at, diskusi-diskusi yang biasanya diselenggarakan oleh Haji Zamzam dan Haji Yunus mulai menarik minat banyak orang baik dari kalangan modernis maupun tradisionalis. Jumlah anggota awal Persatuan Islam saat itu berjumlah dua puluh orang saja. Baru di tahun 1926, seorang faqih asal Singapura bernama Ahmad Hassan ikut serta dan bergabung dalam diskusi-diskusi keagamaan tersebut. Kehadiran Ahmad Hassan pada forum diskusi yang diadakan Haji Zamzam itu semakin membuka ruang untuk menelaah dan mengkaji Islam langsung dari sumber utamanya yakni Qur’an dan Sunnah.

Dakwah Persatuan Islam

Sebagaimana diungkapkan di awal, kehadiran Persatuan Islam diawali dengan diskusi-diskusi keagamaan yang diadakan di rumah Haji Zamzam. Dalam momentum yang karib disebut sebagai kenduri atau syukuran biasanya Haji Zamzam mengadakan diskusi tentang perlu adanya reformasi dan modernisasi Islam di Indonesia mengingat kondisi kaum muslimin pada masa itu yang dibiarkan terlena oleh imperialisme dan kolonialisme Belanda. Pola dakwah dengan diskusi itu merupakan pola awal yang sampai hari ini masih berkembang di Persatuan Islam bahkan sampai kehadiran Ahmad Hassan sebagai tokoh dan guru utama Persatuan Islam di tahun 1926 menambah semarak diskusi yang diadakan kala itu. 
 
Tak hanya diskusi keagamaan saja, forum-forum perdebatan pun turut menghiasi perjalanan dakwah Persatuan Islam. Mulai dari debat secara terbuka sampai debat di media massa. Perdebatan baik dengan golongan maupun perorangan menjadi sesuatu yang khas dari Persatuan Islam di masa itu. Tak terbilang berapa banyak perdebatan terbuka yang digelar mulai dengan Ahmadiyyah, tokoh atheis, Nahdlatul Ulama, Perti, serta sederet perdebatan lain melalui media massa seperti perdebatan soal kebangsaan dengan Soekarno, perdebatan soal taqlid dengan KH A Wahab Hasbullah dan sejumlah perdebatan lainnya menambah semarak perjalanan dakwah Persatuan Islam di medio awal tahun 1930-an. 
 
Semarak dakwah itu terus berlanjut. Tak sekadar mahir berkata-kata di mimbar, para ulama Persatuan Islam pun terkenal dengan ketajaman gagasannya melalui tulisan-tulisan di berbagai media massa kala itu. Media massa seperti Pembela Islam, Al-Lisaan, Al-Fatwa, At-Taqwa, Aliran Islam, Risalah, Al-Muslimun dan sejumlah media massa lainnya baik yang diterbitkan pimpinan pusat maupun pimpinan cabang menjadi ajang adu gagasan serta menampilkan dakwah bil kitabah khas Persatuan Islam. Tak sekadar menulis artikel di berbagai media massa, para tokoh utamanya seperti Ahmad Hassan, Isa Anshary, E Abdurrahman, O Qomaruddin Shaleh, Fachruddin Al-Khahiri, Sabirin, Kemas Ahmad dan sejumlah nama lainnya pun menulis dalam berbagai macam buku dengan beragam tema. Dakwah Persatuan Islam pun perlahan mulai diterima masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Jawa Barat. Hingga kemudian dari semarak dakwah ini semakin menunjukkan dan mengokohkan Persatuan Islam dengan tradisi keilmuannya yang khas.

Politik Persatuan Islam

Salah satu arena dakwah Persatuan Islam yang paling dikenal adalah melalui politik. Meski tidak terlalu menonjol jika dibandingkan dengan Muhammadiyah atau Nahdlatul Ulama dalam urusan politik. Kiprah dakwah Persis dalam dunia perpolitikan bisa dilihat dengan corak khasnya. Tokoh-tokoh utama Persis dikenal sebagai anggota aktif Partai Masyumi. Tak hanya menjadi anggota partai belaka, para aktivis utama ini pun turut serta mewarnai gagasan Islam bernegara sebagai anggota dewan seperti di Majelis Konstituante sampai perdana menteri. Tentu kita akan ingat bagaimana kiprah Mohammad Natsir, sang penggagas Mosi Integral di ranah perpolitikan itu. Belum lagi rangkaian kiprah penuh keteladanan yang dihadirkan banyak sosok seperti Isa Anshary, E Abdurrahman dan sejumlah nama lainnya semakin mengukuhkan kiprah Persis dalam soalan dakwah siyasah. 
 
Meski pada akhirnya kiprah dakwah politik ini harus berakhir seiring mundurnya Persis dari anggota majelis kehormatan partai Masyumi. Namun, lagi-lagi keteladanan para tokoh utama ini dalam soalan politik adalah keniscayaan. Tulisan-tulisan bernas A Hassan, Isa Anshary, Moenawar Chalil, Hasbi Ash-Shiddieqy, serta sejumlah nama lain termasuk Mohammad Natsir menjadi bukti keteladanan bagaimana kiprah nyata mereka. Belum lagi teladan tenggang rasa atau toleransi mereka yang sangat tinggi terhadap lawan politiknya. Kita bisa menyaksikan bagaimana hubungan mesra Isa Anshary dan DN Aidit selepas perdebatan panas di ruang sidang gedung Merdeka. Kisah tentang teladan utuh dan penuh seluruh Mohammad Natsir dengan ragam tokoh berbeda gagasan semisal IJ Kasimo dan lain sebagainya.Sekali lagi, ini menjadi bukti utuh dari keteladanan sosok-sosok besar yang tumbuh dan berkiprah di bawah naungan jam’iyyah Persatuan Islam.

Budaya Persatuan Islam

Salah satu dari sekian banyak uslub dakwah yang ditempuh para tokoh Persatuan Islam yang belum banyak digali juga dikaji adalah dakwah melalui budaya. Satu dari sekian banyak khazanah dakwah Persatuan Islam yang tertimbun kini mulai ditemukan mutiaranya. Beragam karya seni mulai dari musik, sastra hingga kaligrafi sampai dunia pewayangan nyatanya turut mewarnai dakwah Persis di tahun-tahun kegemilangannya. Rupa tokoh dan sosok yang menghadirkan dakwah ini dengan membawa ciri khas Persatuan Islam tetap utuh dan saling mengutuhkan. Dalam dunia budaya khususnya sastra, lagi-lagi kita akan diajak berkenalan dengan sosok seperti Ahmad Hassan, Isa Anshary, E Abdurrahman, E Abdullah, Endang Saifuddin Anshari, Utsman Sholehuddin, Syarief Sukandi, Suraedi dan sejumlah nama lainnya berikut karya mereka yang luar biasa dalam bidang budaya. 
 
Karya-karya tersebut tersusun dan terabadikan dalam beragam bentuk mulai dari karangan prosa, puisi, hingga naskah drama. Menarik untuk menelaah dibalik penciptaan karya-karya ini. Tak sekadar menuliskan bait sajak, paragraf prosa ataupun dialog drama tapi ciri khas dakwah Persis nampak dalam karya sosok-sosok terbaik itu. Syair, Tertawa, Pepatah, Saur Mama, Hariring Wangsiting Gusti nu Maha Suci, Cahaya di Atas Cahaya, Tersesat, Tahlil, Tauhid, Ceritera Bu Idah, Hidup Bahagia, Fantomim Sunda sampai pada lirik hymne dan mars yang dicipta seperti mars Rijaalul Ghad, Ummahatul Ghad, dan Pemuda Persis menjadikan ciri khas tersendiri dari kekayaan khazanah intelektual yang dihadirkan alim ulama dan intelektual Persatuan Islam untuk masa-masa berikutnya. 
 
Teladan Sosok, Teladan Penuh Seluruh  
 
Kehadiran Persatuan Islam dalam rangkaian panjang perjalanan sejarahnya yang membentang dari tahun 1923 sampai hari ini menjadi bukti bahwa keberlangsungan dakwah Persatuan Islam tidak akan pernah selesai sampai kapanpun juga. Sejatinya kita akan selalu terhubung dengan masa lalu sampai hari depan nanti. Sebuah perjalanan panjang dimana utuh mengutuhkan hingga pada sosok kita akan belajar tentang keteladanan utuh dan penuh seluruh. Keteladanan yang diharapkan bisa dilanjutkan para pelanjutnya di hari hadapan. Ia hanya seucplik dari sekian banyak keragaman kiprah dan hayat dakwah Persatuan Islam. Dalam bilangan usia yang semakin sepuh, tentu kita berharap bahwa rumah berlambang bintang dengan dua belas sudut ini akan tetap mempunyai kesatuan arah dan tuju sebagaimana dicita para pendirinya yakni kesatuan suara, usaha, rasa dan pemikiran Islam. Seluruh kesatuan tuju tersebut hanya bisa kita dapatkan bilamana kita mau jujur dan jernih memandang sejarah, hayat, kiprah serta pemikiran para tokoh pendahulunya. 
 
Maka, sebagaimana kesatuan tuju tersebut. Izinkan kami untuk kembali menyatukan kesatuan ruhul jihad dan ijtihad dengan menghadirkan serta mengenalkan sebagian kecil dari kebanyakan sosok-sosok besar Persatuan Islam untuk melihat masa depan Islam dan kaum muslimin di republik ini lebih dekat. Sebab sebagaimana pernah diujarkan Syaikh Musthafa Al-Gulayani bahwa pemuda di masa sekarang adalah bapak di masa yang akan datang, dan pemudi di masa sekarang adalah ibu di masa yang akan datang. Atau sebagaimana dituturkan guru kami al-ustadz Amin Muchtar dalam salah satu sesi kajiannya pernah mengujarkan, bahwa bilamana anda ingin melihat Persis di masa yang akan datang, maka lihatlah Pemuda Persis-nya hari ini, dan bilamana anda ingin melihat Persistri di masa yang akan datang, maka lihatlah Pemudi Persis-nya hari ini. Wallahu a’lam bish shawwab.**** 

Oleh : Aldy Istanzia Wiguna, khadim Lembaga Studi Sastra dan Literasi Pemuda Persis
 
Bahan Bacaan : 

  • Howard M. Federspiel, Labirin Ideologi Muslim, Jakarta: Serambi, 2004 
  • Atip Latiful Hayat dkk, Persis di Era Millenium Kedua, Tangerang Selatan: Media Kalam, 2020 
  • Ginanjar Nugraha dkk, Dinamika Intelektual Muda Persis, Bandung: LKTPI, 2021

 

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar