Aldy Istanzia Wiguna
Sumber : Harakah Islamiyyah |
Ahmad Hassan
lahir di Singapura pada tahun 1887 dan wafat di Surabaya pada tanggal 10
November 1958. Sebagai seorang tokoh pembaharu, Ahmad Hassan mendapat didikan
awal dari ayahnya yang bernama Sinna Vappu Maricar, seorang penulis yang cukup
ahli dalam bidang agama Islam dan kesusastraan Tamil. Ia diajarkan ayahnya
mulai dari tata bahasa Tamil dan ilmu-ilmu keagamaan lainnya. Masa kecil
Ahmad Hassan dilewati di Singapura. Pendidikannya bermula di sekolah dasar,
tetapi Ahmad Hassan tidak sempat menyelesaikannya. Kemudian ia masuk sekolah
Melayu dan menyelesaikannya hingga kelas empat dan belajar di sekolah dasar
pemerintah Ingris sampai tingkat yang sama, sambil belajar bahasa Tamil dari
ayahnya. Di sekolah Melayu itulah, Ahmad Hassan belajar bahasa Arab, Melayu,
Tamil dan Inggris. Pada usia tujuh tahun, sebagaimana anak-anak pada umumnya,
ia belajar Al-Qur’an dan memperdalam agama Islam.
Pada usia 12
tahun, A. Hassan mulai bekerja. Sembari mencari nafkah, ia menyempatkan diri
belajar privat dan berusaha menguasai bahasa Arab sebagai kunci untuk
memperdalam pengetahuan tentang Islam. Dia belajar di toko milik iparnya,
Sulaiman sambil terus belajar mengeja pada Muhammad Thaib, seorang guru yang
terkenal di Minto Road. Pelajaran yang diterimanya saat itu sama saja dengan
apa yang diterima anak-anak lain seperti tata cara shalat, wudhu, shaum dan
lain-lain.
Selain kepada
Muhammad Thaib, tercatat beberapa nama sempat menjadi gurunya seperti Abdul
Lathif, sang paman juga Syekh Hassan dan Syeikh Ibrahim, seorang ulama yang
berasal dari India. Beliau mempelajari dan memperdalam Islam dari beberapa guru
tersebut sampai kira-kira tahun 1910, menjelang ia berusia 23 tahun. Beberapa
pekerjaan pernah digelutinya seperti menjadi agen es batu, tukang vulkanisir
mobil sampai menjadi penulis tidak tetap di beberapa majalah hingga diangkat
menjadi salah satu anggota redaksi di surat kabar Utusan Melayu.
Menjadi Penulis di Utusan Melayu
Di sekitar
tahun 1912-1913, ia menjadi salah satu anggota redaksi surat kabar Utusan
Melayu yang diterbitkan oleh Singapore Press di bawah pimpinan Inche Hamid
dan Sa’dullah Khan. Di surat kabar ini, untuk pertama kalinya Ahmad Hassan
menulis artikel tentang Islam yang bersifat nasihat, anjuran berbuat baik dan
meninggalkan kejahatan dalam bentuk syair. Masalah akidah dan ibadah juga tidak
luput dari sorotannya. Terkadang tulisannya berupa kritikan terhadap hal-hal
yang dianggapnya tidak sesuai dengan ajaran Islam. Bahkan, dalam salah satu tulisannya,
ia pernah mengecam qadli yang dalam memeriksa suatu perkara mengumpulkan
tempat duduk pria dan wanita dalam satu ruangan.
Menarik bila
disimak, perjalanan menulis Ahmad Hassan dalam koran atau surat kabar Utusan
Melayu ini. Lazimnya, sebuah tulisan dalam koran yang biasanya berisi
artikel keagamaan. Ahmad Hassan justru menuliskannya dalam bentuk syair atau
puisi lama yang berbentuk bait sebanyak empat baris dalam satu baitnya.
Tulisan-tulisan Ahmad Hassan yang berbentuk syair ini ternyata banyak diminati
hingga pada satu kesempatan redaktur surat kabar tersebut memberinya rubrik tanya-jawab
seputar keagamaan sebelum nantinya berpindah ke dalam majalah Pembela Islam
yang dikelolanya kelak bersama murid-muridnya seperti Mohammad Natsir dan Isa
Anshary ketika dirinya bergabung dengan Persis di tahun 1926.
Tradisi Literasi dan Intelektualitas A. Hassan
Pada tahun
1926, ketika Ahmad Hassan memutuskan untuk belajar tenun di Bandung dan
mendirikan pabrik tenun di daerah Majalaya. Ia sempat belajar dan ikut
pengajian dalam sebuah perkumpulan yang didirikan oleh dua saudagar dagang dari
Palembang bernama Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus di tahun 1923. Nama dari
perkumpulan itu adalah Persatuan Islam (Persis). Organisasi atau perkumpulan
tersebut biasanya mengadakan kenduri atau pengajian-pengajian kecil yang
diadakan di sebuah mesjid yang terletak di Jalan Pangeran Sumedang (kini Otto
Iskandardinata). Mulanya, Ahmad Hassan tertarik dengan pembahasan-pembahasan
yang dikaji dalam pengajian itu. Salah satu tema yang biasa dikaji dalam
perkumpulan itu adalah hal-hal yang berkaitan dengan bid’ah, khurafat, dan
takhayul. Seiring waktu berjalan, Ahmad Hassan justru diminta untuk
memberikan pengajaran atau corak berbeda dalam setiap pengajian dan kenduri
yang diadakan sampai akhirnya ia didaku menjadi guru dari perkumpulan yang
organisasi awalnya berjumlah 20 orang.
Pada masanya,
organisasi Persatuan Islam dikenal galak dan tegas. Tercatat beberapa
perdebatan sengit pernah digelar organisasi masa itu dengan Ahmad Hassan
sebagai pembicaranya. Perdebatan-perdebatan itu tidak hanya terjadi di muka
umum saja melainkan dalam surat-surat kabar yang dikelola Persatuan Islam.
Salah satu perdebatan yang paling terkenal pada masa itu adalah perdebatan
Persis dengan Ahmadiyah yang dilakukan di Batavia dan Bandung dengan lawan
debat diantaranya Abu Bakar Ayyub, Abdurrazak dan Rahmat Ali sebagai
utusan Ahmadiyyah dari Qadiyan. Sedangkan perdebatan-perdebatannya yang melalui
media massa antara lain dengan Prof. Schoumaker dan dengan golongan Kristen
Seven Advent di majalah Pembela Islam.
Pribadi Ahmad
Hassan yang literat ternyata turut ditularkan kepada beberapa muridnya seperti
Isa Anshary, Mohammad Natsir dan Endang Abdurrahman. Ketiga muridnya ini biasa
dilibatkan bilamana Ahmad Hassan hendak berdebat atau menulis satu dua artikel.
Biasanya, bilamana ia hendak berdebat yang biasanya dilibatkan untuk turut
serta menyeleksi kitab-kitab referensi yang akan digunakannya berdebat adalah
Endang Abdurrahman. Sementara, Isa Anshary dan Mohammad Natsir mendapat tugas
untuk menjadi editor atas tulisan-tulisan Ahmad Hassan yang hendak diterbitkan
atau dipublikasikan di majalah-majalah yang dikelola Persatuan Islam saat itu
semisal Pembela Islam, Aliran Islam dan Al-Lisan.
Selain itu,
Ahmad Hassan juga terbiasa menerbitkan tulisan-tulisannya secara mandiri. Hal
itu dilakukan dengan prinsip berdiri di atas kaki sendiri. Tercatat sampai
akhir hayatnya Ahmad Hassan telah menulis sebanyak kurang lebih 83 judul buku
yang terdiri dari persoalan-persoalan ibadah, akhlak, politik sampai buku-buku
kesusastraan yang ditulis Ahmad Hassan dalam enam jilid diantaranya Syair yang
ditulis sebanyak dua jilid dan Tertawa yang ditulis sebanyak empat jilid. Ini
membuktikan bahwa ulama-ulama Persis pada masa itu termasuk ulama yang multi
disiplin ilmu. Hal ini bisa dilihat dari beragamnya tulisan Ahmad Hassan juga
murid-murid beliau semisal Mohammad Natsir dan Isa Anshary.
Bila ditelisik
lebih jauh tentang aktivitas literasi Ahmad Hassan, kita akan menemukan
sejumlah fakta terkait pengaruh orang-orang di sekitar yang mempengaruhi
pemikiran-pemikiran, intelektualitas serta literasi Ahmad Hassan. Dalam bukunya
yang berjudul Hassan Bandung, Pemikir Islam Radikal, Ahmad Syafiq Mughni
menjelaskan setidaknya ada tiga faktor yang mempengaruhi pemikiran Ahmad Hassan
diantaranya adalah : (1) pengaruh keturunan, (2) pengaruh bacaan, (3) pengaruh
pergaulan.
Pertama, bila
dilihat dari pengaruh keturunan, Ahmad Hassan tercatat pernah belajar saat di
Singapura kepada empat guru dari India yang kesemua gurunya itu memiliki
pemahaman Wahabi (sebuah gerakan pemurnian Islam yang diinisasi oleh Muhammad
bin Abdul Wahab). Keempat gurunya itu adalah Thalib Rajab Ali, Abdurrahman,
Jaelani dan Ahmad, ayah Ahmad Hassan sendiri. Keempat orang itu terkenal dengan
faham Wahabinya dikarenakan sangat menentang dan tidak mau membenarkan adanya talqin,
ushalli, tahlilan dan lain sebagainya.
Kedua, bila
dilihat dari pengaruh bacaan ada beberapa bacaan yang turut mempengaruhi
pemikiran serta intelektualitas A. Hassan dalam tulisan-tulisannya yang kita
kenal selama ini. Diantara buku-buku dan koran atau surat kabar yang
mempengaruhi pemikiran Ahmad Hassan diantaranya adalah majalah Al-Manar, sebuah
majalah terbitan Mesir yang didapatkan A. Hassan dikarenakan sang kakak ipar
Abdul Ghani terbiasa berlangganan majalah tersebut, lalu ada majalah Al-Imam,
sebuah majalah yang mula-mula dipimpin oleh Al-Hadi, kemudian Thahir
Jalaluddin dan akhirnya oleh seseorang bernama Abbas. Saat di Surabaya, Ahmad
Hassan mendapatkan buku Kafa’ah yang ditulis oleh Ahmad Surkati, seorang
pembaharu Islam juga pendiri organisasi Al-Irsyad. Isi buku tersebut diantaranya
berkisah tentang fatwa Ahmad Surkati yang menerangkan bahwa muslim dengan
muslimah diperbolehkan menikah tanpa memandang golongan dan derajat. Selain
buku Kafa’ah yang ditulis oleh Ahmad Surkati, A Hassan pun tercatat
dipengaruhi juga oleh buku Bidayatul Mujtahid karangan Ibnu Rusyd pada
saat ia bertamu ke rumah sahabatnya Bibi Wantee. Salah satu persoalan yang
dibahas di dalam buku tersebut adalah persoalan tentang perbandingan keempat
mazhab fiqih seperti mazhab Syafi’i, Hanafi, Hambali dan Maliki. Di Bandung,
pemikiran Ahmad Hassan turut diwarnai oleh buku-buku seperti Zadul Ma’ad karangan
Ibnul Qayyim Jauziyyah, Nailul Authar karangan Asy-Syaukani dan Al-Manar
di bagian fatwanya.
Ketiga, bila
dilihat dari pengaruh pergaulan di sekitarnya. Tercatat pemikiran Ahmad Hassan
turut dipengaruhi oleh salah seorang gurunya yang berasal dari Mesir saat
dirinya sama-sama mengajar di sekolah Assegaf. Dalam beberapa kali pertemuan
Ahmad Hassan terlihat mencium tangan (taqbil) kepada seseorang yang
tergolong sayyid. Pada satu perjamuan makan malam di rumah kawannya yang
berasal dari Mesir, ia dicaci maki habis-habisan karena sikapnya yang terkesan
merendahkan dan dianggap menghinakan diri terhadap sesama manusia. Hal tersebut
mendorong dirinya untuk menulis sebuah artikel dalam majalah Utusan Melayu tentang
taqbil. Tulisannya bersifat pertanyaan dengan kesimpulan ‘apakah soal
tersebut tidak merendahkan sesuatu golongan diantara kaum muslimin. Pada
tahun 1917, ia bersama seorang kawannya Hisyam Yunus berniat mengarang sebuah
buku agama yang semata-mata beralasan Qur’an dan Sunnah. Niat ini sampai pada
usaha mengadakan persiapan-persiapan tetapi setelah menelaah isi kitab Shahih
Bukhari mereka bertemu beberapa hal yang bertentangan dengan mazhab Syafi’i,
salah satunya tentang air musta’mal. Namun, niat ini diurungkan karena mereka
berdua tidak berani menentang ajaran mazhab Syafi’i. Selain itu, waktu di
Surabaya, A Hassan tercatat banyak bergaul dengan Faqih Hasyim serta tercatat
menghadiri pertemuan-pertemuan Al-Irsyad di bawah bimbingan Ahmad Sorkati.
Sementara itu, saat ia di Bandung, ia tercatat bergaul akrab dengan Haji Zamzam
dan Muhammad Yunus dari Persatuan Islam yang kelak pada tahun 1926, Ahmad
Hassan sendiri melamar menjadi anggota Persis hingga akhirnya diangkat menjadi
Guru Utama Persatuan Islam.
Kesimpulan
Menarik
bilamana kita menyimak sekilas perjalanan intelektual seorang Ahmad Hassan.
Seseorang yang mumpuni dalam segala bidang. Seseorang yang meninggalkan banyak
karya dan karsa untuk kehidupan jam’iyyah di masa yang akan datang. Tidak hanya
perjalanan beliau dalam berkarya, namun juga keuletan beliau dalam menelisik
banyak kitab, membaca, mempelajarinya lalu tanpa sungkan menerima kritikan dari
murid-muridnya tentu menjadi satu tugas penting untuk gerak jam’iyyah ke
depannya. Ahmad Hassan tidak hanya mengkaderkan murid-muridnya untuk menjadi
pelanjut jihad jam’iyyah secara fisik. Namun juga mengkader daya
intelektualitas murid-muridnya dengan menjadikan mereka sebagai kawan atau
partner dalam menulis atau bahkan dalam berdebat semisal salah satu murid
kesayangannya yakni Endang Abdurrahman. Satu pertanyaan yang kemudian layak
kita hadapkan ke depan adalah, sudah siapkah kita menjadi pelanjut dari
gerak intelektualitas seorang Ahmad Hassan, sebab bukankah dakwah Persis itu
sudah seharusnya melahirkan pelanjut bukan pengikut. Semoga, ada satu
diantara sekian banyak anggota di jam’iyyah ini yang bisa melanjutkan
perjuangan intelektual seorang Ahmad Hassan.***
Daftar Bacaan :
1.
Tamar Djaja, Riwayat Hidup A. Hassan, Jakarta:
Penerbit Mutiara, 1980
2.
A Syafiq Mughni, Hassan Bandung Pemikir Radikal, Surabaya:
PT Bina Ilmu, 1980
3.
Dadan Wildan, Yang Dai Yang Politikus, Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, 1997
Tidak ada komentar:
Posting Komentar