Aldy Istanzia
Wiguna
Gambar by M Ridwan Nurrohman |
Kita jangan lupa mereka yang memperbincangkan pelbagai
masalah itu, yang satu ketika nampaknya mungkin seperti perkara kecil saja,
tetapi pada hakekatnya mereka adalah pembongkar pokok asal kesesatan-kesesatan
yang membawa kita jadi jauh dari rahmat dan inayah Allah SWT. Hubungan antara
khurafat dan taqlid, adalah sama eratnya dengan hubungan antara hasil
kebudayaan yang gilang gemilang dengan ruh intiqad. (Mohammad Natsir, Capita Selecta 1)
Sastra adalah salah satu cabang kehidupan budaya
bangsa. Melalui karya sastra dapat dibayangkan tingkat kemajuan gambaran
tradisi yang sedang berlalu, tingkat kehidupan yang telah dicapai oleh
masyarakat pada suatu masa dan sebagainya (Pusat Pembinaan dan Pembangunan
Bangsa Depdikbud, 1985).
Sastra penting bagi kehidupan manusia, karena
nilai-nilai yang terkandung di dalamnya mampu memberikan pencerahan dan
penghalusan batin. Selain itu sastra sanggup menumbuhkan daya kritis, analitis,
maupun intelektual pembacanya, sehingga meningkatkan kemampuan interpretasinya
terhadap fenomena kehidupan yang tergelar dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam konteks hari ini, sastra menjadi teramat penting
bagi penyampaian pesan atau amanat yang terkandung dalam berbagai macam genre
sastra seperti puisi, prosa maupun drama. Akan tetapi, menilik ke dalam
beberapa hal sastra bisa saja menjadi kebalikannya. Ini berkaitan dengan
atmosfer atau perubahan-perubahan yang terjadi di dalam kebudayaan itu sendiri.
Sering kita menemukan, sebagian kalangan yang nyinyir terhadap sastra itu
sendiri. Menganggap bahwa sastra terkesan khayali tinimbang faktual. Padahal
sastra bukan sekedar menonjolkan unsur khayali belaka melainkan unsur-unsur
faktual yang bisa membangun juga memberikan penekanan terhadap pembawaan sastra
sendiri sebagai medium untuk menyampaikan atau mengabarkan beberapa perihal
tentang hak, kewajiban dan juga realitas kehidupan manusia di dunia.
Sastra dan
Dakwah
Muncul kemudian pertanyaan, apakah bisa sastra dibawa
ke dalam dunia dakwah yang notabene-nya lebih banyak menghadirkan pesan-pesan
Ilahiah yang faktual sebab berdasarkan Qur’an dan Sunnah. Sementara medium
sastra yang khayali dan jauh dari hal-hal faktual tersebut ?
Sebenarnya, pertanyaan tersebut bisa terjawab dengan
begitu mudah bilamana kita bisa menyaksikan perkembangan kebudayaan khususnya
sastra di masa keemasan Islam. Tengoklah bagaimana syair bisa menempati urutan
teratas dalam tradisi masyarakat jahiliyyah Quraisy. Bagaimana sosok penyair
demikian menentukan di ranah perpolitikan juga menjadi simbol kebanggaan kaum
atau kabilah-kabilah Arab di masa itu. Sejarah mencatat bahwa Umar bin Khattab
R.A sebelum masuk Islam, beliau dikenal sebagai seorang orator ulung juga
sebagai seorang penyair kebanggaan kabilah bani ‘Ady pada masanya. Juga Abu
Bakar Shiddiq R.A yang dalam catatan sejarah juga tercatat sebagai seorang
pakar sastra di masanya. Atau para penyair yang hidup berdampingan bersama
Nabi. Ikut menyenandungkan syair puji-pujian dalam rangka mendakwahkan Islam ke
seantero penjuru dunia. Lalu fakta-fakta tentang penyebaran agama Islam yang
dilakukan oleh sembilan wali atau yang dikenal wali songo. Dalam catatan
sejarah terdapat Sunan Giri, Sunan Kalijaga, dan Sunan Bonang yang melakukan
dakwah penyebaran Islam melalui jalur budaya. Ketiganya tercatat piawai
menyampaikan pesan-pesan Islam kepada masyarakat kemaharajaan Hindu di masa itu
melalui budaya. Salah satunya adalah sastra. Dimana pada masa itu, Sunan Bonang
menciptakan sebuah tembang macapat berjudul Tombo Ati, lalu Sunan
Kalijaga piawai menggunakan medium wayang kulit dan membuat sebuah syair
tembang berjudul Ilir-Ilir. Hal ini membuktikan bahwa sastra dan dakwah
berkaitan erat.
Tak hanya pada masa wali songo saja. Sastra juga
menjadi sumber kekuatan juga salah satu alat penyampai dakwah yang mumpuni bagi
masyarakat di wilayah Sumatera pada masa itu. Terbukti dengan keberadaan
sejumlah hikayat, syair dan pantun yang berisikan pesan-pesan Islam dan juga
pesan tentang pentingnya mewujudkan syari’at Islam dalam kehidupan sehari-hari.
Salah satu sastrawan terkenal pada masa itu diantaranya adalah Hamzah Fansuri,
Nuruddin Ar-Raniri, Teungku Chik Pante Kulu, Raja Ali Haji, Tun Sri Lanang, dan
Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi. Sastrawan dan budayawan Melayu yang hidup pada
masa itu juga terkenal sebagai ulama yang dijadikan rujukan umat untuk
bertanya. Namun, mereka mampu membawakan atau menyampaikan pesan-pesan Islam
dengan begitu menakjubkannya melalui medium sastra. Salah satu karya sastra
terkenal di masa itu yang dijadikan sebagai salah satu media dakwah diantaranya
adalah Gurindam Dua Belas karangan Raja Ali Haji yang sarat dengan
nilai-nilai Islam juga Hikayat Perang Sabil yang ditulis oleh Teungku
Chik Pante Kulu yang dijadikan sebagai bacaan wajib para mujahidin Aceh di masa
perang Aceh untuk menjadi pelengkap juga panduan para mujahidin dalam
memenangkan serta mengobarkan perang sabil (suci) melawan penjajah Belanda.
Fakta-fakta sejarah di atas membuktikan bahwa sastra
merupakan salah satu medium penting untuk menjadi penyampai pesan-pesan
syari’at Islam (dakwah) dan terbukti menjadi satu dari sekian banyak medium
penyampai dakwah yang menjadi begitu penting untuk dikembalikan fungsinya. Hal
ini tentu berkaitan dengan apa yang dikemukakan Mohammad Natsir dalam bukunya
Capita Selecta bahwa sudah seharusnya gerak kebudayaan yang dijadikan sebagai
medium dakwah setidaknya dijauhkan dari hal-hal yang bersifat taklid dan juga
khurafat.
Sastra, Dakwah
dan Persis (Sebuah Analisa)
Persatuan Islam (Persis) adalah sebuah ormas Islam
yang didirikan pada awal tahun 1920-an tepatnya didirikan pada tanggal 12
September 1923 / 01 Shafar 1342 H. Didirikan oleh para pedagang Palembang yang
bermukim di Bandung diantaranya H. Zamzam dan H. Yunus. Baru pada tahun 1926,
datang seorang laki-laki dari Singapura bernama Ahmad Hassan yang ikut mewarnai
gerak dakwah Persis pada masa itu yang masih berupa taklim, kenduri, juga
kajian-kajian pemurnian Islam dari hal-hal yang bersifat bid’ah, khurafat dan
takhayul. Pada perjalanannya, organisasi pembaharu dari Bandung ini semakin
mendapatkan tempat bagi sebagian kalangan masyarakat Hindia Belanda pada masa
itu karena gerak dakwahnya yang cenderung militan dan terbuka. Tak segan-segan,
pada masa itu bilamana ada satu gerakan yang bertentangan dan hendak
mengacaukan kehidupan beragama langsung mendapatkan pertentangan sengit melalui
jalan debat. Diantara debat yang paling terkenal pada masa itu adalah debat
antara Persis dan Ahmadiyyah. Dimana pada masa itu wakil dari Persis adalah A.
Hassan dan Endang Abdurrahman sedangkan wakil dari Ahmadiyyah adalah Abu Bakar
Ayyub. Perdebatan itu berlangsung sengit bahkan sampai berhari-hari. Pesertanya
pun tumpah ruah sampai keluar bahkan sampai disiarkan oleh beberapa koran
terkemuka di Hindia Belanda pada masa itu salah satunya adalah majalah Fikiran
Rakjat.
Selain melalui media perdebatan, dakwah Persis pun
melebar melalui media publikasi diantaranya melalui majalah-majalah seperti
majalah Al-Lisaan (1935), Al-Fatwa (1931), Pembela Islam (1929), juga
majalah Risalah (1962) yang sampai hari ini masih eksis terbit. Tak
hanya melalui majalah-majalah berbahasa Melayu. Adapun pada masa itu pula
terbit majalah-majalah Persatuan Islam berbahasa Sunda seperti Iber (1967),
At-Taqwa (1937), dsb. Selain Persis, otonom kewanitaan Persis yakni
Persatuan Islam Istri (Persistri) pada tahun 1953 menerbitkan majalah khusus
kewanitaan yang berjudul Berita Persistri yang kemudian berubah nama
menjadi Akhbar Persistri. Hal ini bisa menunjukkan suatu bukti bahwa tradisi
menulis di kalangan ulama Persis dan juga otonom Persis telah berlangsung
dengan demikian baik. Bahkan pada masa itu buku-buku karangan para ulama Persis
bisa dijadikan rujukan umat dari berbagai penjuru negeri. Salah satunya adalah
buku-buku karangan A. Hassan, Isa Anshary, Mohammad Natsir, Endang Abdurrahman,
Abdul Qadir Hassan. Selain para ulama Persis, ada pula generasi muda Persis
yang pada masa itu aktif dan terkenal produktif menulis salah satunya adalah
Fachruddin Al-Kahiri. Menariknya, tulisan-tulisan para ulama Persis dan
generasi muda Persis pada masa itu juga tidak hanya piawai membahas persoalan
politik, agama, juga hal-hal yang berkaitan dengan syari’at Islam. Akan tetapi
juga piawai membahas persoalan-persoalan yang berkaitan dengan permasalahan
kebudayaan. Salah satu ulama Persis yang dikenal luwes dalam membahas persoalan
kebudayaan ini adalah Mohammad Natsir. Selain Mohammad Natsir, A. Hassan guru
Persatuan Islam yang juga anggota Majelis Ulama Persatuan Islam (Dewan Hisbah)
pada masa itu juga mempublikasikan sebanyak dua jilid kumpulan sya’ir Islam
juga empat jilid kumpulan humor yang dijudulinya Tertawa. Lalu pada era 1980-an
tradisi penulisan kebudayaan ini berlanjut kepada generasi berikutnya yakni
generasi Ust. Abdullah yang pada masa itu demikian piawai menulis
gagasan-gagasannya dalam majalah Iber dengan menggunakan bahasa daerah. Lalu
kepiawaian ust. Endang Abdurrahman dalam menyampaikan gagasan juga menuturkan
sejarah Islam dalam bukunya Renungan Tarikh yang dikenal dengan keindahan
bahasanya juga ketenangan dalam penuturan setiap kisahnya.
Kegemilangan sejarah di atas setidaknya bisa
memberikan sebuah bukti bahwa dakwah Persatuan Islam (Persis) juga dibangun
dengan dakwah-dakwah yang bersifat kebudayaan, meski pada kenyataannya bila
menyaksikan konteks hari ini, kita menyaksikan sebagian asatidz Persatuan Islam
sedikit antipati terhadap dakwah dengan medium budaya ini. Ini bisa dibuktikan
dengan vakumnya Persis dari ranah pengkajian budaya. Berbeda halnya dengan
Nahdlatul Ulama, salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia yang sudah sedari
tahun 1960-an mendirikan Lesbumi sebagai salah satu wadah para budayawan,
seniman juga sastrawan yang terdiri dari berbagai genre (aliran) seni ikut
meramaikan pentas dakwah NU di kancah nasional. Pendirian Lesbumi menjadi
semacam jawaban atas pendirian Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) yang pada masa
itu digawangi oleh sastrawan kenamaan Indonesia yakni Pramoedya Ananta Toer
yang notabenenya menjadi bagian dari kampanye Partai Komunis Indonesia yang
pada masa itu demikian nyaring menentang bahkan mencegah dakwah Islam melalui
medium kebudayaan.
Tentu, hal ini bisa dijadikan semacam pertarungan
sengit melalui medium budaya dimana dua lembaga kebudayaan berada pada titik
paling menentukan di masa itu. Beda halnya dengan Persis yang pada masa itu
cenderung tertutup terhadap kebudayaan-kebudayaan yang lahir di luar. Persis di
bawah kepemimpinan Endang Abdurrahman pada masa itu lebih memfokuskan kegiatan
dakwahnya melalui jalan pendidikan dan juga pengembalian terhadap khittah
Persis di masa awal. Hal itu bisa dipahami sebagai salah satu bentuk isolasi
strategis yang dilancarkan Persis mengingat ada banyak oknum luar yang
berusaha memanfaatkan keberadaan serta kehadiran Persis untuk mengeruk kepentingan
pribadi. Akan tetapi, bila ditelisik lebih jauh maka pola isolasi strategis ini
justru terkesan menciptakan gelombang dalam gelas. Riak intelektualitas
Persis pada masa itu seperti terhambat. Adanya pakem atau suatu pemahaman bahwa
garis intelektualitas asatidz juga kaum cendekiawan Persis pada masa itu lebih
memainkan peranannya pada bidang pengkajian fiqih serta aturan-aturan syari’at.
Ini terbukti dengan semakin kuatnya Dewan Hisbah Persis mengeluarkan
fatwa-fatwa berkaitan dengan aturan berkehidupan jam’iyyah di masa-masa
tersebut yang mana bila dikaji lebih dalam lagi ini bisa menjadi semacam
benturan tersendiri ketika pada masa kepemimpinan berikutnya mulai
memberlakukan jalan atau upaya berdakwah melalui jalan lain, salah satunya
budaya.
Berkaca dari pendapat Mohammad Natsir dalam bukunya
yang berjudul Capita Selecta, bahwa sudah seharusnya dakwah Persis bukan lagi
dakwah yang dititikberatkan kepada salah satu masalah. Ada baiknya dakwah
Persis bisa menyentuh bidang-bidang lain selama bidang-bidang itu tidak
melanggar aturan syari’at Islam juga tidak mengarah pada hal-hal yang bersifat
bid’ah, khurafat juga takhayul. Terlebih mengingat pesan ust. Shiddiq Amien
tentang pembagian tugas dakwah di jam’iyyah berdasarkan kemampuan
masing-masing. Persis boleh saja terpaku pada pola dakwah dengan pokok kajian
fiqh. Akan tetapi pola penyampaian daripada kajian-kajian tersebut sudah
seharusnya dikreasikan dengan pola dakwah lainnya. Salah satunya adalah sastra
selama dalam pola penyampaian atau penulisannya tidak ada aturan syari’at Islam
yang dilanggar juga tidak menjerumuskan pembaca atau pendengar pada hal-hal
yang bersifat bid’ah, khurafat, takhayul dan juga taqlid yang berlebihan.
Mengutip perkataan dari allahu yarham ust. Endang Abdurrahman
bahwasannya dakwah Persis itu bukan untuk mencari puas melainkan untuk mencari
jelas.
Kesimpulan
Berdasarkan paparan di atas, menarik bilamana Persis
mulai melirik sastra sebagai salah satu medium dakwahnya. Namun, sastra sebagai
alat dakwah di sini tidak berarti harus berlepas dari hal-hal fiksi-nya,
melainkan sastra tetap memberikan peranan sebagai bentuk tinjauan kritis,
penelaahan juga penelitian terhadap produk atau fatwa yang dikeluarkan Dewan
Hisbah Persis atau dalam penyampaian-penyampaian dakwah lainnya yang berkenaan
dengan perihidup berjam’iyyah ke depannya. Sastra bisa dijadikan sebagai salah
satu alternatif jalan dakwah Persis ke depannya selama dalam perjalanannya
tidak ada yang dilanggar baik itu aturan syari’at yang bersumber dari Al-Qur’an
dan As-Sunnah juga tidak menjerumuskan umat kepada taqlid buta atau juga kepada
hal-hal yang berbau bid’ah, khurafat dan takhayul.
Sumber Bacaan :
- Howard M. Federspiel, Labirin Ideologi Muslim, Jakarta: Serambi, 2004
- Mohammad Natsir, Kebudayaan Islam Dalam Prespektif Sejarah, Jakarta: PT. Girimukti Pasaka, 1988
- S Moeljanto & Taufiq Ismail, Prahara Budaya, (Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI, dkk), Bandung: Penerbit Mizan, 1995
- Persatuan Islam, Qanun Asasi, Qanun Dakhili, Pedoman Kerja dan Kaifiyah Kerja Dewan Hisbah, Bandung: PP. Persatuan Islam, 1995
- Tiar Anwar Bachtiar dan Pepen Irfan Fauzan, Persis dan Politik : Sejarah dan Aksi Pemikiran Politik Persis 1923-1927, Jakarta: Pembela Islam Media, 2012
- Philip K Hitti, History of The Arabs, Jakarta: Serambi, 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar