Aldy Istanzia
Wiguna
http://kidnapper-bn.blogspot.com/2009/10/mama-ajengan-kai-adma-kai-atam-dan-kai_27.html |
Panggung Sastra
Religi di Nusantara
Dalam bukunya yang berjudul ‘Ikhtisar Sejarah Sastra
Indonesia’, Ajip Rosidi menyebutkan bahwa kemunculan sastrawan-sastrawati yang
mengusung reformis Islam diawali dengan angkatan Balai Pustaka melalui
karya-karya Hamka. Berlanjut pada masa Pujangga Baru dengan munculnya beberapa
penyair yang mengusung tema-tema keagamaan seperti Sanusi Pane, Amrijn Pane,
J.E. Tatengkeng hingga di masa 1945, 1953 sampai 1966 dengan Taufiq Ismail
sebagai salah satu pioneer-nya. Sementara pada masa 1970-an sampai saat
ini muncul sastrawan-sastrawan lain yang mengusung tema serupa baik dalam
penulisan puisi, prosa maupun drama. Beberapa pengarang ini memiliki
catatan-catatan khas dalam pusaran-pusaran ide religiusnya. Dimulai dari KH.
Mustofa Bisri, D Zawawi Imron, sampai yang mutakhir Helvy Tiana Rosa dan
Habiburrahman El-Shirazy.
Keseluruhan karya sastrawan-sastrawati tersebut banyak
mengungkapkan persoalan-persoalan keagamaan baik persoalan secara personal
maupun persoalan di masyarakat. Bahkan salah satu novel berjudul ‘Kambing dan
Hujan’ buah karya Machfud Ikhwan yang menjadi salah satu pemenang sayembara
penulisan novel di Dewan Kesenian Jakarta justru mengangkat cerita lain yakni
tentang konflik yang biasa terjadi antara dua organisasi masa Islam terbesar di
Nusantara yakni Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Cerita-cerita tadi setidaknya
memberikan gambaran bahwa geliat kesusastraan religius di negeri ini berkembang
demikian pesat. Tidak lagi terkungkung dengan aturan-aturan pelik, namun justru
sudah mulai menyentuh persoalan-persoalan yang seringkali dianggap tabu dalam
perjalanan masyarakat Nusantara. Dobrakan demi dobrakan terus dilakukan hingga
karya-karya tersebut tampil dengan begitu menyegarkan. Mulai dari sajak-sajak
Sanusi Pane, Amrijn Pane, J.E Tatengkeng, hingga Taufiq Ismail. Karya-karya
tersebut tidak hanya lahir dalam bentuk sajak secara murni, melainkan juga
lahir dalam bentuk-bentuk lain seperti prosa, drama dan lain sebagainya. Bahkan
seorang Hans Bague Jassin atau yang akrab kita kenal HB Jassin, sang paus sastra
Indonesia justru menulis terjemah Al-Qur’an dalam bentuk sajak. Hal ini
menunjukkan bahwasannya karya sastra mulai bisa dinikmati dengan begitu
lenturnya tanpa ada sekat apapun juga termasuk ikatan-ikat atau aturan dalam
periode Melayu.
Ulama Persis,
Sastra dan Dakwah
Dalam perjalanan sejarahnya yang membentang sepanjang
sembilan puluh empat tahun lamanya, paling tidak dalam catatan sejarah ada
empat nama ulama Persis yang mencoba menulis karya sastra. Empat nama tersebut
diantaranya Ahmad Hassan, Endang Saifuddin Anshary, Maman Nurzaman Romli dan
Utsman Sholehuddin. Keempat-empatnya paling tidak tercatat menulis karya sastra
dalam bentuk sajak dan prosa. Seperti Ahmad Hassan melalui empat jilid
Syair-nya. Endang Saifuddin Anshary melalui sajak-sajaknya yang tersebar di
media massa dalam medio tahun 1950-1960-an. Utsman Sholehuddin melalui dua
jilid kumpulan dongengnya yang diberi judul Saur Mama yang terhimpun dari
dongeng-dongeng yang ditulisnya di majalah Al-Qudwah dan majalah Iber yang
dipimpinnya bersama E. Abdullah kawannya. Sebaran ulama ini paling tidak
menunjukkan bahwa tradisi penulisan sastra di Persis sudah berlangsung demikian
kuat. Adapun keunikannya, penulisan-penulisan karya sastra tersebut justru
menjadi demikian intens dilakukan semenjak kepulangan Ahmad Hassan di tahun
1953.
Adapun ulama yang meneruskan jejak Ahmad Hassan dalam
menulis karya sastra itu adalah murid-murid dari muridnya sendiri yakni Endang
Abdurrahman. Tercatat dalam beberapa karangan tersiar yang penulis telisik ada beberapa
murid Endang Abdurrahman yang konsisten melakukan kegiatan berdakwahnya dengan
menulis karya sastra semisal Utsman Sholehuddin, Muhammad Romly, Syarif Sukandi
dan lain sebagainya. Bahkan yang paling mutakhir beberapa catatan mengarah
kepada Wawan Shofwan, putera Utsman Sholehuddin yang melanjutkan tradisi
penulisan karya sastra tersebut sebagai jalan, alat atau media dakwah yang
dirasakan cukup mumpuni untuk menyampaikan kaidah-kaidah syari’at yang tertuang
dalam Qur’an maupun Sunnah.
‘Saur Mama’,
Magnum Opus Utsman Sholehuddin
Secara periodik dalam medio tahun 90-an, seorang ulama
Persatuan Islam yang sempat duduk sebagai ketua Dewan Hisbah Pimpinan Pusat
Persatuan Islam tercatat cukup aktif menulis dongeng dalam dua majalah
Persatuan Islam yakni majalah Iber dan majalah Al-Qudwah. Ulama tersebut adalah
Utsman Sholehuddin. Seorang ulama Persatuan Islam yang dikenal cerdik cendekia
juga mumpuni dalam bidang ilmu mantiq. Beliau tercatat aktif di Persatuan Islam
dan Pemuda Persatuan Islam melalui bimbingan gurunya yakni KH. Endang
Abdurrahman. Kecintaannya dan keaktifannya di Persatuan Islam diawali dengan
keaktifan ayahnya yang bernama Uya Mulyana yang sering mengikuti kegiatan Ahmad
Hassan, sang guru juga ideolog utama Persatuan Islam. Beliau tercatat sebagai
seorang ulama yang mencintai dan senang berdakwah. Beliau pula yang
memprakarsai dan merintis Tamhidul Muballighiin yang menjadi program unggulan
dibawah Bidgar Dakwah di tingkat PC, PD, dan PW. Beliau Perintis Tarbiyyatul
Muballighiin yang menjadi cikal bakal Pesantren Tahdzibul Washiyyah yang dawali
dengan kajian-kajian dan bahtsul kutub di rumahnya. Beliau menjadi guru, orang
tua, dan fartner bagi murid-muridnya dalam mengkaji seluruh persoalan.
Kesehariannya tidak lepas dari kajian ilmu. Tentu saja sunnah hasanah yang
beliau ajarkan dalam berdiskusi ini bisa menjadi sunnah yang dilakukan oleh
murid-muridnya dalam mengkaji masalah, karena dengan berjama’ah ketika membahas
satu persoalan akan lebih teruji dan lebih tajam analisisnya ketimbang mengkaji
sendirian, dalam mengambil dalail maupun menetapkan hukum. Itulah yang
dirasakan oleh murid-muridnya. Beliau pernah menjadi Ketua Bidang Maliyah,
Ketua Dewan Hisbah, dan Majlis Penasehat. Beliau wafat pada hari Jum’at tanggal
14 November 2014 di Rumah Sakit Al-Islam, Bandung.
Salah satu karya tulisnya yang menjadi magnum opus di
kalangan pembacanya adalah serial Kai Sahamah, Kai Atam dan Kai Adma yang
dikumpulkan dalam dua seri kumpulan dongeng berjudul Saur Mama. Dalam jilid
pertama tercatat sebanyak dua belas cerita pendek berbahasa Sunda dengan tema
cerita yang beragam. Dimulai dari catatan keseharian Mama Ajengan dan para
muridnya seperti Kai Atam, Kai Sahamah, dan Kai Adma, lalu catatan tentang
pentingnya hidup berjam’iyyah, penegasan kembali khittah berjam’iyyah sampai
pembabaran terkait persoalan-persoalan sederhana seperti bid’ah, khurafat dan
takhayyul. Selain itu ada beberapa dongeng yang memanggungkan catatan-catatan
seputar kesesatan Syi’ah, bablasnya pemikiran liberal, sekuler hingga pluralis.
Sampai pula pada pembabaran terkait persoalan-persoalan komunisme yang dengan
lihainya disampaikan beliau dalam bangun sebuah cerita jenaka yang
sangat-sangat pedas menyindir kepentingan-kepentingan aliran tersebut.
Seperti dalam dongeng beliau yang berjudul ‘Iih, Lain
Ditulungan’ yang menceritakan tentang seseorang yang diam saja dan tidak mau
bertindak apa-apa ketika merasakan kesulitan. Ia tiba-tiba datang kepada Mama
Ajengan untuk meminta nasihat. Dongeng ini diawali dari kisah Kai Sahamah yang
ditinggal meninggal oleh istrinya hampir 100 hari. Dimana pada saat itu Kai
Sahamah bermaksud untuk mengadakan tahlilan sebagai sarana mengingat kepergian
sang istri yang ke 100 hari. Dalam cerita tersebut dikisahkan dengan susah
payah Kai Sahamah rela melakukan apapun demi melaksanakan tahlilan ke 100 hari
meninggalnya sang istri. Pada pelaksanaannya, ternyata Kai Sahamah menemukan
banyak kendala, hingga ia memerlukan seorang kawan curhat untuk menyelesaikan
permasalahannya tersebut. Ditemuilah salah satu kawannya yakni Kai Adma yang
menyarankan saat itu kepada dirinya untuk menemui Mama Ajengan. Maksud Kai Adma
menemui Mama Ajengan adalah agar Kai Sahamah mendapatkan penjelasan terperinci
terkait apa yang dilakukannya itu menurut aturan syariat. Hingga pada satu
hari, Kai Sahamah dan Kai Adma menemui Mama Ajengan dan menceritakan pengalaman
yang baru saja dialami Kai Sahamah terkait pelaksanaan tahlilan 100 hari sang
istri. Begitu berhadapan dengan Mama Ajengan, Kai Sahamah yang menceritakan
keluh kesahnya itu justru didamprat sang ajengan dengan kalimat yang tidak
mungkin bisa disangkal perasaannya yakni ‘Adma, ari jalma mu’min teh kabeh
oge dulur maneh eta teh, prak riung mungpulung, ari papanggih jeung anu karasa
beurat teh ulah kalah tuluy ngaringkeb maneh, kawas euweuh badamianeun. Jeung
deui kapan eunggeus, ku kuring dijentrekeun, entong neukteuk leukeur meulah
jantung, eta mah lain tuduh agama urang, anu kitu mah anu layonna tuluy diduruk
tea.’ Setidaknya pesan di atas memiliki maksud bahwasannya orang yang
melaksanakan ritual seperti tahlilan dan sebagainya tidak lebih seperti
seseorang yang menyerupai kebiasaan suatu kaum. Dimana biasanya upacara
memperingati orang meninggal itu ada dalam tradisi Hindu hingga sesuai dengan
sabda Nabi yang berbunyi man tasyabbaha biqaumin fahuwa minhum (Barang
siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia merupakan bagian dari kaum tersebut).
Selain membabar persoalan-persoalan terkait larangan
melaksanakan hal-hal seperti itu. Kumpulan dongeng ini pun banyak menyorot atau
mengetengahkan perenungan-perenungan sederhana antara hubungan manusia dengan
pencipta-Nya, hubungan manusia dengan alam, juga hubungan manusia dengan
manusia. Paling tidak, Saur Mama sudah memberikan sebuah gambaran tentang
penyampaian konsepsi sastra hikmah yang disampaikan dengan demikian apik tanpa
melepaskan hal-hal yang terkandung dalam gagasan sastra hikmah itu sendiri. Wallahu
a’lam bish shawab.
Daftar Bacaan :
- Ajip Rosidi, Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia, Bandung : Pustaka Jaya, 2013
- Usman Sholehuddin, Saur Mama, Hikayat Dongeng Sunda, tanpa tahun. tanpa penerbit
Tidak ada komentar:
Posting Komentar