Kamis, 20 Desember 2018

Mengurai Makna Saur Mama anggitan KH. Utsman Sholehuddin

Aldy Istanzia Wiguna


http://kidnapper-bn.blogspot.com/2009/10/mama-ajengan-kai-adma-kai-atam-dan-kai_27.html



Panggung Sastra Religi di Nusantara

Dalam bukunya yang berjudul ‘Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia’, Ajip Rosidi menyebutkan bahwa kemunculan sastrawan-sastrawati yang mengusung reformis Islam diawali dengan angkatan Balai Pustaka melalui karya-karya Hamka. Berlanjut pada masa Pujangga Baru dengan munculnya beberapa penyair yang mengusung tema-tema keagamaan seperti Sanusi Pane, Amrijn Pane, J.E. Tatengkeng hingga di masa 1945, 1953 sampai 1966 dengan Taufiq Ismail sebagai salah satu pioneer-nya. Sementara pada masa 1970-an sampai saat ini muncul sastrawan-sastrawan lain yang mengusung tema serupa baik dalam penulisan puisi, prosa maupun drama. Beberapa pengarang ini memiliki catatan-catatan khas dalam pusaran-pusaran ide religiusnya. Dimulai dari KH. Mustofa Bisri, D Zawawi Imron, sampai yang mutakhir Helvy Tiana Rosa dan Habiburrahman El-Shirazy.

Keseluruhan karya sastrawan-sastrawati tersebut banyak mengungkapkan persoalan-persoalan keagamaan baik persoalan secara personal maupun persoalan di masyarakat. Bahkan salah satu novel berjudul ‘Kambing dan Hujan’ buah karya Machfud Ikhwan yang menjadi salah satu pemenang sayembara penulisan novel di Dewan Kesenian Jakarta justru mengangkat cerita lain yakni tentang konflik yang biasa terjadi antara dua organisasi masa Islam terbesar di Nusantara yakni Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Cerita-cerita tadi setidaknya memberikan gambaran bahwa geliat kesusastraan religius di negeri ini berkembang demikian pesat. Tidak lagi terkungkung dengan aturan-aturan pelik, namun justru sudah mulai menyentuh persoalan-persoalan yang seringkali dianggap tabu dalam perjalanan masyarakat Nusantara. Dobrakan demi dobrakan terus dilakukan hingga karya-karya tersebut tampil dengan begitu menyegarkan. Mulai dari sajak-sajak Sanusi Pane, Amrijn Pane, J.E Tatengkeng, hingga Taufiq Ismail. Karya-karya tersebut tidak hanya lahir dalam bentuk sajak secara murni, melainkan juga lahir dalam bentuk-bentuk lain seperti prosa, drama dan lain sebagainya. Bahkan seorang Hans Bague Jassin atau yang akrab kita kenal HB Jassin, sang paus sastra Indonesia justru menulis terjemah Al-Qur’an dalam bentuk sajak. Hal ini menunjukkan bahwasannya karya sastra mulai bisa dinikmati dengan begitu lenturnya tanpa ada sekat apapun juga termasuk ikatan-ikat atau aturan dalam periode Melayu.

Ulama Persis, Sastra dan Dakwah

Dalam perjalanan sejarahnya yang membentang sepanjang sembilan puluh empat tahun lamanya, paling tidak dalam catatan sejarah ada empat nama ulama Persis yang mencoba menulis karya sastra. Empat nama tersebut diantaranya Ahmad Hassan, Endang Saifuddin Anshary, Maman Nurzaman Romli dan Utsman Sholehuddin. Keempat-empatnya paling tidak tercatat menulis karya sastra dalam bentuk sajak dan prosa. Seperti Ahmad Hassan melalui empat jilid Syair-nya. Endang Saifuddin Anshary melalui sajak-sajaknya yang tersebar di media massa dalam medio tahun 1950-1960-an. Utsman Sholehuddin melalui dua jilid kumpulan dongengnya yang diberi judul Saur Mama yang terhimpun dari dongeng-dongeng yang ditulisnya di majalah Al-Qudwah dan majalah Iber yang dipimpinnya bersama E. Abdullah kawannya. Sebaran ulama ini paling tidak menunjukkan bahwa tradisi penulisan sastra di Persis sudah berlangsung demikian kuat. Adapun keunikannya, penulisan-penulisan karya sastra tersebut justru menjadi demikian intens dilakukan semenjak kepulangan Ahmad Hassan di tahun 1953.

Adapun ulama yang meneruskan jejak Ahmad Hassan dalam menulis karya sastra itu adalah murid-murid dari muridnya sendiri yakni Endang Abdurrahman. Tercatat dalam beberapa karangan tersiar yang penulis telisik ada beberapa murid Endang Abdurrahman yang konsisten melakukan kegiatan berdakwahnya dengan menulis karya sastra semisal Utsman Sholehuddin, Muhammad Romly, Syarif Sukandi dan lain sebagainya. Bahkan yang paling mutakhir beberapa catatan mengarah kepada Wawan Shofwan, putera Utsman Sholehuddin yang melanjutkan tradisi penulisan karya sastra tersebut sebagai jalan, alat atau media dakwah yang dirasakan cukup mumpuni untuk menyampaikan kaidah-kaidah syari’at yang tertuang dalam Qur’an maupun Sunnah.

‘Saur Mama’, Magnum Opus Utsman Sholehuddin

Secara periodik dalam medio tahun 90-an, seorang ulama Persatuan Islam yang sempat duduk sebagai ketua Dewan Hisbah Pimpinan Pusat Persatuan Islam tercatat cukup aktif menulis dongeng dalam dua majalah Persatuan Islam yakni majalah Iber dan majalah Al-Qudwah. Ulama tersebut adalah Utsman Sholehuddin. Seorang ulama Persatuan Islam yang dikenal cerdik cendekia juga mumpuni dalam bidang ilmu mantiq. Beliau tercatat aktif di Persatuan Islam dan Pemuda Persatuan Islam melalui bimbingan gurunya yakni KH. Endang Abdurrahman. Kecintaannya dan keaktifannya di Persatuan Islam diawali dengan keaktifan ayahnya yang bernama Uya Mulyana yang sering mengikuti kegiatan Ahmad Hassan, sang guru juga ideolog utama Persatuan Islam. Beliau tercatat sebagai seorang ulama yang mencintai dan senang berdakwah. Beliau pula yang memprakarsai dan merintis Tamhidul Muballighiin yang menjadi program unggulan dibawah Bidgar Dakwah di tingkat PC, PD, dan PW. Beliau Perintis Tarbiyyatul Muballighiin yang menjadi cikal bakal Pesantren Tahdzibul Washiyyah yang dawali dengan kajian-kajian dan bahtsul kutub di rumahnya. Beliau menjadi guru, orang tua, dan fartner bagi murid-muridnya dalam mengkaji seluruh persoalan. Kesehariannya tidak lepas dari kajian ilmu. Tentu saja sunnah hasanah yang beliau ajarkan dalam berdiskusi ini bisa menjadi sunnah yang dilakukan oleh murid-muridnya dalam mengkaji masalah, karena dengan berjama’ah ketika membahas satu persoalan akan lebih teruji dan lebih tajam analisisnya ketimbang mengkaji sendirian, dalam mengambil dalail maupun menetapkan hukum. Itulah yang dirasakan oleh murid-muridnya. Beliau pernah menjadi Ketua Bidang Maliyah, Ketua Dewan Hisbah, dan Majlis Penasehat. Beliau wafat pada hari Jum’at tanggal 14 November 2014 di Rumah Sakit Al-Islam, Bandung.

Salah satu karya tulisnya yang menjadi magnum opus di kalangan pembacanya adalah serial Kai Sahamah, Kai Atam dan Kai Adma yang dikumpulkan dalam dua seri kumpulan dongeng berjudul Saur Mama. Dalam jilid pertama tercatat sebanyak dua belas cerita pendek berbahasa Sunda dengan tema cerita yang beragam. Dimulai dari catatan keseharian Mama Ajengan dan para muridnya seperti Kai Atam, Kai Sahamah, dan Kai Adma, lalu catatan tentang pentingnya hidup berjam’iyyah, penegasan kembali khittah berjam’iyyah sampai pembabaran terkait persoalan-persoalan sederhana seperti bid’ah, khurafat dan takhayyul. Selain itu ada beberapa dongeng yang memanggungkan catatan-catatan seputar kesesatan Syi’ah, bablasnya pemikiran liberal, sekuler hingga pluralis. Sampai pula pada pembabaran terkait persoalan-persoalan komunisme yang dengan lihainya disampaikan beliau dalam bangun sebuah cerita jenaka yang sangat-sangat pedas menyindir kepentingan-kepentingan aliran tersebut.

Seperti dalam dongeng beliau yang berjudul ‘Iih, Lain Ditulungan’ yang menceritakan tentang seseorang yang diam saja dan tidak mau bertindak apa-apa ketika merasakan kesulitan. Ia tiba-tiba datang kepada Mama Ajengan untuk meminta nasihat. Dongeng ini diawali dari kisah Kai Sahamah yang ditinggal meninggal oleh istrinya hampir 100 hari. Dimana pada saat itu Kai Sahamah bermaksud untuk mengadakan tahlilan sebagai sarana mengingat kepergian sang istri yang ke 100 hari. Dalam cerita tersebut dikisahkan dengan susah payah Kai Sahamah rela melakukan apapun demi melaksanakan tahlilan ke 100 hari meninggalnya sang istri. Pada pelaksanaannya, ternyata Kai Sahamah menemukan banyak kendala, hingga ia memerlukan seorang kawan curhat untuk menyelesaikan permasalahannya tersebut. Ditemuilah salah satu kawannya yakni Kai Adma yang menyarankan saat itu kepada dirinya untuk menemui Mama Ajengan. Maksud Kai Adma menemui Mama Ajengan adalah agar Kai Sahamah mendapatkan penjelasan terperinci terkait apa yang dilakukannya itu menurut aturan syariat. Hingga pada satu hari, Kai Sahamah dan Kai Adma menemui Mama Ajengan dan menceritakan pengalaman yang baru saja dialami Kai Sahamah terkait pelaksanaan tahlilan 100 hari sang istri. Begitu berhadapan dengan Mama Ajengan, Kai Sahamah yang menceritakan keluh kesahnya itu justru didamprat sang ajengan dengan kalimat yang tidak mungkin bisa disangkal perasaannya yakni ‘Adma, ari jalma mu’min teh kabeh oge dulur maneh eta teh, prak riung mungpulung, ari papanggih jeung anu karasa beurat teh ulah kalah tuluy ngaringkeb maneh, kawas euweuh badamianeun. Jeung deui kapan eunggeus, ku kuring dijentrekeun, entong neukteuk leukeur meulah jantung, eta mah lain tuduh agama urang, anu kitu mah anu layonna tuluy diduruk tea.’ Setidaknya pesan di atas memiliki maksud bahwasannya orang yang melaksanakan ritual seperti tahlilan dan sebagainya tidak lebih seperti seseorang yang menyerupai kebiasaan suatu kaum. Dimana biasanya upacara memperingati orang meninggal itu ada dalam tradisi Hindu hingga sesuai dengan sabda Nabi yang berbunyi man tasyabbaha biqaumin fahuwa minhum (Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia merupakan bagian dari kaum tersebut).

Selain membabar persoalan-persoalan terkait larangan melaksanakan hal-hal seperti itu. Kumpulan dongeng ini pun banyak menyorot atau mengetengahkan perenungan-perenungan sederhana antara hubungan manusia dengan pencipta-Nya, hubungan manusia dengan alam, juga hubungan manusia dengan manusia. Paling tidak, Saur Mama sudah memberikan sebuah gambaran tentang penyampaian konsepsi sastra hikmah yang disampaikan dengan demikian apik tanpa melepaskan hal-hal yang terkandung dalam gagasan sastra hikmah itu sendiri. Wallahu a’lam bish shawab.

Daftar Bacaan :

  • Ajip Rosidi, Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia, Bandung : Pustaka Jaya, 2013 
  • Usman Sholehuddin, Saur Mama, Hikayat Dongeng Sunda, tanpa tahun. tanpa penerbit

Tidak ada komentar:

Posting Komentar